Jumat, 26 Februari 2010

BECAK JOGJA deru dan debu


Alangkah kecilnya becak dibanding dengan kepala kereta api dibelakangnya itu. Kalau pak becak kurang hati2 membawa diri, sang deru dan debu itu pasti akan segera menggilas dan menyingkirkannya dari jalanan.

BECAK JOGJA slogan jadul


Beraneka kata atau slogan yang tertulis di slebor becak jaman dulu, misalnya:
Waton Urip
Banyu Mili
Tegar,
Sri Rahayu
Lumintu
Ningsih
Barokah
Prasojo
Marem
Bejo
Prihatin
Gemah Ripah
Sami-Sami
Dsb.

Kamis, 25 Februari 2010

BECAK JOGJA capek deh


Ini potret buah karya Agus Leonardus. Menggambarkan seorang tukang becak yang terlelap entah karena kelelahan habis narik atau karena lelah nunggu tarikan yang tak kunjung ada.

BECAK JOGJA modal dengkul


BECAK JOGJA modal dengkul, cara murah mencari nafkah. Ya begitulah kira2 penggambarannya.

Ini lukisan buah karya Joko Pekik. Tarik Kaaang...

Rabu, 24 Februari 2010

BECAK JOGJA awas!!!



Awas!!! Ah..., jatuh. Kacian deh.

Ada2 saja...

BECAK JOGJA Oo Obama


Presiden AS Barack Hussein Obama secara tiba-tiba tampil di Jogja. Orang nomer satu di Negeri Paman Sam tersebut mengejutkan warga karena muncul dengan menaiki becak. Presiden kulit hitam (keturunan Afrika) pertama di negeri adidaya itu pun menjadi perhatian banyak orang di jalan. Di atas becak, suami Michelle Obama ini duduk dengan menopangkan kaki kirinya di atas kaki kanan sambil mengacungkan dua jari tangannya. Tetapi, itu bukan Obama sungguhan, melainkan patung fiberglass karya pematung Wilman Syahnur.

Patung Obama itu merupakan salah satu di antara 300 karya seni yang tampil dalam pameran the 2009 Indonesia Biennale. Wilman pun menggenjot sendiri becak yang ditumpangi Obama itu.

Sumber: http://www.jawapos.co.id

Wis ngono wae...

BECAK JOGJA nunggang musti nungging


Becak Jogja mempunyai ciri tersendiri yang berbeda dengan daerah lain. Bentuk kendaraan beroda tiga itu serba semok, membulat dan gemuk. Yang kadang kita tidak mengerti adalah mengapa tempat duduk penumpang dibuat terlalu tinggi alias kelewat nangkring? Jadi agak menyulitkan bagi penumpang kalau ingin naik becak.

Karena itu becak terpaksa harus ditunggingkan ke depan terlebih dahulu oleh tukang becak agar kaki penumpang bisa mencapainya. Turunnya juga begitu. Ini khan cukup merepotkan bagi tukang becak. Mosok setiap mendapatkan penumpang si mas tukang becak harus menunggingkan dengan mengangkat roda belakang tinggi-tinggi hingga lantai depan becak nyaris menyentuh tanah? Tapi nampaknya tidak ada lho yang berkeberatan dengan desain itu...

Wis ngono wae…

(Gbr. dari google image)

BECAK JOGJA menunggu penumpang


Becak2 ini sedang "ngetem" menunggu penumpang.

Gambar dari google image.

Wis ngono wae...

JOGJA Tugu Jogja kini tak lagi golong gilig




Tugu Jogja merupakan landmark Kota Jogjakarta yang paling terkenal. Monumen ini berada tepat di tengah perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jenderal Soedirman, Jalan A.M Sangaji dan Jalan Diponegoro. Tugu Jogja yang berusia hampir 3 abad memiliki makna yang dalam sekaligus menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Jogjakarta.

Tugu Jogja kira-kira didirikan setahun setelah Kraton berdiri. Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig. Secara rinci, bangunan Tugu Jogja saat awal dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas. Bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar sementara bagian puncaknya berbentuk bulat. Ketinggian bangunan tugu pada awalnya mencapai 25 meter.

Semuanya berubah pada tanggal 10 Juni 1867. Gempa yang mengguncang Jogjakarta saat itu membuat bangunan tugu runtuh. Bisa dikatakan, saat tugu runtuh ini merupakan keadaan transisi, sebelum makna persatuan benar-benar tak tercermin lagi pada bangunan tugu.

Keadaan benar-benar berubah pada tahun 1889, saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu. Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan juga menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.

Perombakan bangunan itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja. Namun, melihat perjuangan rakyat dan raja di Jogjakarta yang berlangsung sesudahnya, bisa diketahui bahwa upaya itu tidak berhasil.

Sumber: Yogyess.com
Gambar: google image
Foto: Dedydwitagama

Wis ngono wae...

JOGJA tata nilai budaya


Istilah budaya atau kebudayaan memiliki cakupan makna yang amat luas, karena pada hakikatnya kebudayaan merupakan seluruh aktivitas manusia, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Memahami aktivitas manusia sebagai makhluk sosio-kultural berarti melahirkan tuntutan untuk memahami sistem atau konfigurasi nilai-nilai yang dipegang oleh manusia, karena cara berpikir, cara berekspresi, cara berperilaku, dan hasil tindakan manusia pada dasarnya bukan hanya sekadar reaksi spontan atas situasi objektif yang menggejala di sekitarnya, melainkan jauh lebih dalam dikerangkai oleh suatu sistem atau tata nilai tertentu yang berlaku dalam suatu kebudayaan.

Suatu tata nilai budaya tertentu tidak selalu terumuskan secara eksplisit dan sistematik, namun biasanya diam-diam telah bersemayam dalam kesadaran kolektif masyarakat bersangkutan. Sistem nilai yang dimaksud biasanya meresap dan menggejala dalam ide-ide, gagasan-gagasan, bahkan keyakinan-keyakinan tertentu yang menjadi kerangka penuntun cara berpikir sekaligus isi pikiran, yang pada gilirannya terekspresikan dalam pola perilaku dan hasil-hasilnya yang kongkrit dalam kehidupan. Penyusunan naskah ini dimaksudkan agar tata nilai budaya Yogyakarta terumuskan secara eksplisit dan sistematik sehingga dapat dijadikan acuan dan sumber inspirasi bagi penyusunan strategi dan kebijakan pembangunan kebudayaan.

Secara mendasar, suatu tata nilai menyangkut hal-hal yang sakral dan yang profan (ranah religio-spiritual), kebenaran dan ketidakbenaran (ranah logika dan ilmu pengetahuan), kebaikan dan keburukan atau kejahatan (ranah etika), keindahan dan ketidakindahan (ranah estetika), dan kepatutan atau kesopanan dan ketidakpatutan atau ketidaksopanan (ranah etiket). Dalam tata nilai budaya Yogyakarta, nilai-nilai dasar tersebut terurai dalam nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai aspek kehidupan, yakni: (1) nilai religio-spiritual, (2) nilai moral, (3) nilai kemasyarakatan, (4) nilai adat dan tradisi, (5) nilai pendidikan dan pengetahuan, (6) nilai teknologi, (7) nilai penataan ruang dan arsitektur, (8) nilai mata pencaharian, (9) nilai kesenian, (10) nilai bahasa, (11) nilai benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya, (12) nilai kepemimpinan dan pemerintahan, (13) nilai kejuangan dan kebangsaan, dan (14) nilai semangat khas keyogyakartaan.

Dalam suatu sistem nilai kebudayaan tertentu, di satu pihak senantiasa diyakini terdapat ideal-ideal yang harus dikiblati, namun di lain pihak selalu terjadi distorsi-distorsi, bahkan penyimpangan-penyimpangan dalam praktek kehidupan. Meskipun harus diakui bahwa dalam perilaku kongkrit masyarakat Yogyakarta boleh jadi terjadi distorsi dan penyelewengan atas nilai-nilai yang diidealkan (adiluhung), namun dalam naskah Tata Nilai Budaya Yogyakarta ini tetap dirumuskan ideal-ideal yang diyakini sebagai kiblat dalam meraih keutamaan, karena pada hakikatnya manusia itu bukan hanya “produk” kebudayaan belaka, melainkan juga sekaligus “pencipta” kebudayaan.

Oleh karena itu, manusia dapat dan bahkan harus merancang suatu strategi kebudayaan bagi masa depannya, menuju kehidupan bersama yang lebih berkeadaban.

Tata nilai budaya Yogyakarta ialah tata nilai Budaya Jawa yang memiliki kekhasan dalam semangat pengaktualisasian nilai-nilai kejawaan pada umumnya. Tata Nilai Budaya Yogyakarta merupakan sistem nilai yang dijadikan kiblat (orientasi), acuan (referensi), inspirasi, dan sumber pedoman bagi perilaku budaya dan peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan budaya masyarakat Yogyakarta.

1. Tata Nilai Religio-Spiritual
Dunia yang tergelar dengan seluruh isinya termasuk manusia ini berasal dari Tuhan dan kelak akan kembali kepada Tuhan (mulih mula mulanira). Tuhan ialah asal-muasal dan tempat kembali segala sesuatu (sangkan paraning dumadi). Dengan kekuasaan-Nya yang tanpa batas, Tuhan menciptakan dunia beserta isinya (jagad gedhé; makrokosmos), termasuk manusia (jagad cilik; mikrokosmos), dengan keagungan cinta kasih-Nya. Tuhan adalah penguasa di atas segala penguasa yang pernah ada di dunia. Tuhan tidak dapat digambarkan dengan perumpamaan apa pun (tan kena kinaya apa). Ciptaan Tuhan beraneka ragam wujud dan derajatnya, berubah-ubah, dan bersifat sementara (owah gingsiring kanyatan, mobah mosiking kahanan), bahkan manusia hidup di dunia ini hanyalah bersifat sementara seakan-akan sekadar singgah sejenak untuk meneguk air (urip iku bebasan mung mampir ngombé), sedangkan Tuhan merupakan Kenyataan Sejati (Kasunyatan Jati) yang bersifat Azali dan Abadi, tiada berawal pun pula tiada berakhir. Tuhan adalah dzat yang meliputi segala sesuatu, tetapi tidak dapat diinderai dengan cara apa pun (adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa sénggolan). Meskipun demikian, Tuhan senantiasa menyertai dan mengawasi dunia ini sehingga tiada satu peristiwa sekecil apa pun yang terjadi di luar penglihatan Tuhan (Pangeran iku ora saré).

Dunia dengan segala isinya yang diciptakan Tuhan ini beraneka rupa wujudnya dan berjenjang-jenjang derajatnya. Namun demikian semua tertata dan terkait satu sama lain secara selaras, serasi, dan seimbang (harmonis). Masing-masing unsur atau komponen memiliki peran dan fungsi yang telah ditentukan secara kodrati oleh Tuhan, sehingga apabila terjadi ketidaktepatan posisi atau ketidaktepatan fungsi atas salah satu unsur atau komponen, maka terjadilah kekacauan (disharmoni). Kekacauan pada satu satuan kenyataan (unit realitas) akan mengguncangkan seluruh tatanan alam semesta (kosmos). Disharmoni pada mikrokosmos akan mempengaruhi harmoni makrokosmos, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, manusia sebagai mikrokosmos yang dibekali kesadaran akan cipta, rasa, dan karsa, wajib menjaga harmoni alam semesta ini dengan tanpa pamrih pribadi yang sempit atau hawa nafsu egoisme, melainkan harus dengan rela hati lahir batin (lila legawa lair trusing batin) bersungguh-sungguh berusaha keras secara terus-menerus (sepi ing pamrih ramé ing gawé) mengusahakan dan menjaga kebenaran (bener), kebaikan (becik), keindahan (hayu), keselamatan dan kelestarian (rahayu) dunia (hamemayu hayuning bawana).

Dunia yang benar, baik, indah, selamat, dan lestari itu tampak menggejala dalam kehidupan yang serba tertib dan teratur (tata), semua kegiatan kehidupan dilaksanakan dengan cermat dan saksama (titi), sehingga membuahkan ketenteraman (tentrem), kemakmuran dan kesejahteraan (karta raharja). Dalam kehidupan nyata seringkali terjadi peperangan antara keteraturan dan kekacauan. Manusia wajib menegakkan keteraturan dengan menghapus kekacauan (memasuh malaning bumi). Semua itu bisa terlaksana apabila manusia berusaha keras mengerahkan akalbudi dan segenap kemampuannya untuk mewujudkannya (rahayuning bawana kapurba waskithaning manungsa). Itulah darma bakti yang harus dilaksanakan oleh manusia kepada Tuhan, sebagai makhluk paling mulia yang diciptakan-Nya.

Dalam usaha menapaki kehidupan, manusia harus sadar bahwa seluruh daya upaya yang dikerahkannya memiliki keterbatasan. Bagaimanapun juga, Tuhanlah yang akan menentukan kehidupan tiap-tiap orang. Oleh karena itu, setiap orang harus ikhlas (lila legawa) dan dengan sabar menerima (sabar narima) peran dan nasib perjalanan hidupnya. Kematian, jodoh, anugerah, garis nasib, dan rejeki bagi tiap-tiap orang merupakan kepastian yang telah ditentukan oleh Tuhan (siji pesthi, loro jodho, telu wahyu, papat kodrat, lima bandha). Manusia sekadar menjalani hidup ini (manungsa saderma nglakoni, kaya wayang upamané) sebagaimana digariskan oleh Tuhan. Akan tetapi, nilai-nilai seperti itu bukan berarti mengajak manusia untuk pasrah total tanpa usaha dalam hidup (fatalistik), melainkan dimaksudkan sebagai kerendahhatian agar hendaknya manusia tidak sombong senantiasa merasa bisa melakukan apa saja (rumangsa bisa), namun harus tahu diri akan keterbatasan kemampuannya (bisa rumangsa; ngrumangsani), jangan mendikte kehendak Tuhan (aja nggégé mangsa), dan pandai-pandailah bersyukur (narima ing pandum).

Dalam batas kewajaran manusia harus tetap berusaha (mbudidaya) meningkatkan taraf harkat dan martabat kehidupannya, di antaranya dengan mengusahakan dan terus-menerus meningkatkan kekuasaan, kekayaan, dan kepandaian atau ilmu (wirya, arta, tri winasis) yang dimilikinya. Dengan memiliki dan meningkatkan ketiga hal itu, diharapkan kehidupannya menjadi lebih benar, lebih baik, lebih indah, dan lebih bijaksana, bahkan sedapat mungkin menjadi orang yang sejahtera, berbahagia, dan berpengaruh secara luas karena memiliki kedudukan yang penting dalam masyarakat (mukti wibawa mbaudhendha). Meskipun mencari harta dan kedudukan lahiriah memang dianjurkan, namun dimensi batiniah tetap lebih diutamakan (sugih tanpa bandha).

Pada dasarnya tidak seorang pun mengetahui dengan pasti garis hidupnya. Oleh karena itu, upaya keras mengubah nasib masih tetap terbuka lebar dengan cara lebih tekun berusaha dan lebih khusuk berdoa (nang donya kang sugih puji, yèn sira temen satuhu, tuhu teka dennya muja), sebab apa yang tampaknya seakan-akan telah digariskan sesungguhnya masih dapat diubah dengan doa dan ikhtiar kerja keras secara tepat (kodrat bisa diwiradat). Dengan demikian, sebaik-baik sikap hidup ialah merampungkan segala urusan keikhtiaran sampai derajat tertinggi menurut kemampuan manusiawinya (mupus), kemudian menunggu keputusan Tuhan dengan pengharapan yang baik.

Agar dalam hidupnya manusia banyak mendapatkan keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan dijauhkan dari malapetaka (rahayu ingkang sami pinanggih, widada nir ing sambikala), maka manusia harus senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendekatkan diri kepada Tuhan dengan benar hendaklah dimulai dengan membersihkan diri dari perbuatan tercela lima M (ma-lima), yakni membunuh (mateni), mencuri (maling), berjudi (main), berzina (madon), menghisap candu atau narkoba jenis apa pun dan meminum minuman keras yang dapat mengakibatkan lupa diri (madat; mendem; mabuk).. Di samping itu, agar proses mendekatkan diri kepada Tuhan berhasil dengan baik, manusia harus mengurangi kenikmatan duniawi dan senantiasa waspada terhadap godaan nafsu duniawi yang menggiurkan (cegah dhahar lawan guling, kaprayitnan dèn kaesthi), mengontrol dan membimbing nafsunya dari yang paling rendah menuju derajat tertinggi (lauwamah – amarah – supiyah – muthmainah). Berkomunikasi secara spiritual dengan Tuhan itu bertahap-tahap dan berjenjang-jenjang, dari bentuk-bentuk yang paling lahiriah sampai yang paling batiniah (saréngat – tarékat – hakékat – makripat; sembah raga – sembah cipta – sembah jiwa – sembah rasa). Manusia harus mengerti sampai di mana jenjang kedekatan dirinya dengan Tuhan dan harus senantiasa berusaha keras agar semakin dekat dengan Tuhan menurut keyakinannya.

Dalam berkomunikasi spiritual dengan Tuhan, setiap orang memiliki kebebasan penuh beribadah menurut tata cara kepercayaan-keagamaan yang diyakininya. Tidak seorang pun berhak untuk memaksakan kepercayaan-keagamaannya kepada siapa pun dan dengan cara apa pun dan memaksakan tata cara peribadatan apa pun yang diyakininya kepada siapa pun. Demikian pula tidak seorang pun berhak melarang atau menghalang-halangi seseorang atau sekelompok orang untuk berkomunikasi dengan Tuhan menurut kepercayaan-keagamaan dan tata cara peribadatan yang diyakininya, karena kepercayaan/keagamaan merupakan hak azasi mansia yang secara kodrati melekat pada tiap-tiap orang. Perbedaan keyakinan merupakan kewajaran yang harus dihormati oleh setiap orang. Orang harus toleran dan menjaga perasaan orang lain (amemangun karyénak tyasing sasama) dalam keberbedaan keyakinan satu sama lain. Tidak seorang pun layak merasa paling benar ketakwaannya kepada Tuhan (ora golèk beneré dhéwé) karena peribadatan yang dijalankannya, sebab derajat ketakwaan seseorang lebih dinilai dari perilaku kongkritnya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Tata Nilai Moral
Menjaga kebaikan, keindahan, dan kelestarian dunia harus dimulai dari diri manusia sendiri dengan menjaga kebenaran pemikiran dan ucapan, kebaikan perilaku, keharmonisan dan keindahan tatanan pergaulan hidup, baik dengan sesama manusia, dengan alam semesta, dan terutama dengan Tuhan. Kebenaran pemikiran dan ucapan membuahkan kejujuran, dan kejujuran membuahkan kebaikan. Terdapat kepastian yang tak terelakkan bahwa barang siapa berbuat baik dengan benar, niscaya dia akan tegak dan barang siapa berbuat salah dengan cara apa pun, pasti dia akan runtuh (wong bener jejer, wong salah sèlèh), tidak peduli apakah dia seseorang yang berdarah biru (trahing kusuma rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih) atau berharta dan berkedudukan sosial tinggi (bèr bandha bèr bandhu, kajèn kèringan), ataukah orang kecil (wong cilik) dengan status sosial rendah (wong pidak pejarakan). Sesungguhnya, harkat dan martabat seseorang lebih ditentukan oleh kata dan perbuatannya (ajining dhiri saka lathi lan pakarti). Barang siapa berbuat baik tampaklah kebajikannya, barang siapa berbuat kejahatan akan ketahuan pula keburukannya, dan barang siapa berbuat kejahatan niscaya akan akan sirna keberuntungan dan keberkatannya, dan dijauhkan dari kasih sayang dan anugerah Tuhan (becik ketitik ala ketara, sapa kang agawé ala bakal sirna wahyuné). Sehebat apa pun kekuatan keangkaramurkaan akan dapat ditundukkan oleh kebajikan (sura sudira jayaning kang rat, swuh brastha tekaping ulah darmastuti).
Dunia ini berputar dan berubah, begitu pula dengan nasib manusia juga berubah-ubah, berputar, berganti (cakramanggilingan). Oleh karena itu manusia jangan mudah takjub dengan kesementaraan perubahan yang memukau (aja gumunan, aja kagetan), dan jangan pula menyombongkan diri dan meremehkan orang lain dikala dirinya berjaya sementara orang lain sedang sengsara (aja dumeh). Boleh jadi suatu saat nanti status sosial seseorang atau keturunan orang yang status sosialnya tinggi menjadi sengsara, sementara orang kecil atau keturunan orang yang berstatus sosial rendah malahan bisa berjaya (tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati). Manusia harus berhati-hati dalam bertindak, jangan sampai melukai dan atau merugikan pihak lain. Setiap perbuatan yang dilakukan pasti akan berbuah akibat yang diterima oleh pelakunya (ngundhuh wohing pakarti). Perbuatan baik akan berbuah kebajikan, perbuatan buruk akan berbuah keburukan (sapa kang nandur bakal ngundhuh, sapa kang gawé bakal nganggo, sapa kang utang bakal nyaur).

Watak mulia harus diikhtiarkan dengan menjauhi perangai buruk seperti angkuh, bengis, jahil, serakah, panjang tangan, gila pujian (aja ladak lan jail, aja serakah, aja celimut, aja mburu aleman). Jangan menyombongkan kepandaian, harta, paras elok, dan busana (aja sira ngegungaken akal, bagus iku dudu mas picis, lawan dudu sandhangan). Jangan pula menyombongkan diri dengan keberanian, suka menantang untuk bertengkar, tidak tahu malu, iri hati, dengki, dan suka mencela orang lain (aja watak sira sugih wani, aja sok ngajak tukaran, aja anguthuh, aja ewanan lan aja jail, poma sira aja drengki, dahwen marang ing sasama). Dalam hidup hendaklah orang jangan menyombongkan diri dengan berlebih-lebihan membanggakan kekuatan baik fisik, harta, maupun kekuasaanya, keagungan keturunan atau kebesaran derajat sosialnya, dan kepandaiannya (aja adigang, adigung, adiguna).

Semua watak buruk itu harus dihindari, dijauhi, dan ditinggalkan. Orang harus senantiasa berusaha menanam kebajikan dan terus-menerus menyemai budi luhur sebagai keutamaan (nandur kabecikan, ndhedher kautaman). Orang yang baik selalu berusaha menyenangkan hati orang lain (amemangun karyénak tyasing sesama), seperti mengemukakan pendirian secara lembut (pambegané alus; landhep tanpa natoni), berhati-hati dalam berbicara (yèn angucap ngarah-arah), tingkah dan tutur katanya bersahaja (tingkah una-niné prasaja), setiap ucapannya terasa sejuk menembus kalbu karena dilandasi nurani yang bersih (saujaré manis trus ati), bertenggang rasa dan berbelas kasih kepada semua makhluk hidup (kèh tepané mring sagunging urip). Pendek kata, semua makhluk ingin dibahagiakannya (sama dèn arah raharjané).

3. Tata Nilai Kemasyarakatan
Masyarakat (bebrayan agung) dipahami sebagai suatu keluarga tetapi keluarga yang besar. Landasan utama suatu keluarga ialah kasih sayang (sih kinasihan; asih ing sesami) di antara para anggotanya. Hidup bermasyarakat haruslah dilandasi oleh kasih sayang dengan mewujudkan dan senantiasa menjaga kerukunan. Kerukunan merupakan tiang utama kehidupan kemasyarakatan, karena kerukunan memberikan kekuatan, sedangkan pertikaian mendatangkan kehancuran (rukun agawé santosa, crah agawé bubrah). Apabila timbul persoalan di antara anggota masyarakat, maka harus diselesaikan sebaik-baiknya dengan bermusyawarah secara kekeluargaan (ana rembug ya dirembug), karena masyarakat itu sejatinya merupakan suatu keluarga besar.

Seandainya terjadi percikan konflik tidak perlu dibesar-besarkan (kriwikan dadi grojogan), karena dapat melibatkan semakin banyak pihak dalam pertikaian sehingga semakin mengeruhkan permasalahan yang timbul. Suatu perselisihan lebih baik dihadapi dan diselesaikan sendiri dengan kerendahan hati (nglurug tanpa bala). Dan, apabila seseorang merasa benar dan memperoleh kemenangan atas suatu penyelesaian perselisihan, janganlah pihak yang menang itu merendahkan atau menghinakan pihak yang kalah (menang tanpa ngasoraké). Bagaimanapun juga, yang kalah itu tetaplah manusia yang harus dijaga harga dirinya, dijaga martabatnya. Pendek kata, siapapun dia dan bagaimanapun posisinya, setiap orang harus tetap dimanusiakan (diuwongké). Dalam hidup bersama, di antara anggota masyarakat hendaklah saling berbagi ilmu dan pengalaman (asah) agar semakin cerdas mengelola kehidupan, saling mengasihi (asih) agar semakin nyaman menikmati kehidupan, dan saling membimbing (asuh) agar semakin matang menjalani kehidupan. Itulah hidup bersama yang disemangati dan dihiasi oleh kemanusiaan. Sesungguhnya keselamatan dan kesejahteraan manusia itu dapat terwujud bilamana nilai-nilai kemanusiaan senantiasa terjaga (rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsané).

Hidup bersama dalam masyarakat dituntut adanya solidaritas atau kesetiakawanan sosial antar anggota masyarakat, baik dalam keadaan senang maupun susah (sabaya mati, sabaya mukti). Satu sama lain harus tolong-menolong, bantu-membantu, sehingga setiap permasalahan yang timbul dapat dihadapi dan diselesaikan secara lebih ringan dan memadai. Terlebih lagi, dalam menangani urusan yang berkaitan dengan kepentingan bersama, antaranggota masyarakat hendaknya seia-sekata, bekerja sama, bergotong-royong bahu-membahu (saiyek saéka kapti) merampungkan urusan bersama dengan sebaik-baiknya. Bahkan, demi kepentingan umum, orang janganlah berhitung-hitung akan imbalan bagi pekerjaan yang dilakukannya (sepi ing pamrih, ramé ing gawé) karena bekerja demi kepentingan umum itu merupakan wujud keutamaan tugas yang harus diemban manusia sebagai makhluk Tuhan dalam rangka memperindah dan menjaga kelestarian dunia (hamemayu hayuning bawana), agar dunia senantiasa dapat memberi perasaan aman dan damai (ayom ayem) bagi penghuninya.

Untuk menjaga kohesi dan harmoni kehidupan sosial, hubungan antar anggota masyarakat dilandasi oleh prinsip hormat. Penghormatan ini pertama-tama diberikan kepada kedua orang tua (ingkang dingin rama ibu), mertua lelaki dan perempuan (kaping kalih maratuwa lanang wadon), saudara tua (kaping katri marang sadulur tuwa), guru (kaping paté mring guru sayekti), kepada pemimpin atau atasan (kapling lima marang gustinira). Secara umum, yang muda harus menghormati yang tua atau yang dituakan. Sebaliknya, yang tua atau yang dituakan wajib menghargai, melindungi, membimbing, dan menyayangi yang muda. Prinsip hormat ini dijalankan agar tiap orang bersedia memanusiakan orang lain dan dari lain pihak dirinya juga merasa dimanusiakan oleh orang lain (nguwongké lan diuwongké). Pararel dengan prinsip memanusiakan orang itu ialah prinsip empati dan timbal-balik (tepa salira), suatu prinsip yang menempatkan diri sendiri pada diri orang lain sehingga orang akan berhati-hati dan bertindak adil kepada orang lain karena dalam diri orang lain itu bersemayam pula dirinya yang akan ikut merasakan akibat tindakannya. Dengan demikian, setiap orang tidak merasa terasing dan senantiasa menjadi bagian tak terpisahkan dari orang lain dalam masyarakatnya.

Prinsip hormat yang lebih bersifat batiniah itu diekspresikan secara lahiriah dalam wujud sopan santun (tata karma; unggah-ungguh). Sopan santun itu menjauhkan orang dari celaan (tata krama iku ngadohaké ing panyendhu). Dalam pergaulan orang harus pandai mengemas dirinya dengan bahasa, busana, dan gerak-gerik anggota tubuh secara santun dan sedapat mungkin menyenangkan hati orang di sekitarnya. Agar dapat membawa diri dengan tepat dalam pergaulan, orang harus pula dengan cermat menyesuaikan ketiga kemasan tadi dengan waktu, tempat, dan konteks. (angon mangsa, empan papan, duga prayoga). Dasar terdalam dari semua itu ialah sikap batin yang harus dijaga bahwa menghormat itu bukanlah wujud kerendahdirian melainkan wujud kerendahatian.

4. Tata Nilai Adat dan Tradisi
Adat berarti sesuatu yang dikenal, diketahui, dan diulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan dalam kehidupan komunitas atau masyarakat tertentu. Adat berupa nilai-nilai yang dikemas dalam norma-norma tertentu. Nilai dan norma yang terkandung dalam suatu adat diekspresikan dalam bahasa, tutur kata, gerak-gerik tubuh, perilaku, tatacara, hukum, atau serangkaian perbuatan tertentu yang dianggap sebagai suatu aktivitas yang memang patut, bahkan harus, dilakukan. Adat yang berisi nilai dan norma tertentu yang melembaga menuntut ketaatan dari komunitas pendukungnya.

Adat yang melembaga dan dijalankan terus-menerus secara turun-temurun disebut tradisi. Dengan perkataan lain, tradisi merupakan pemberlangsungan adat secara terus-menerus, turun-temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adat yang diekspresikan dalam kehidupan kongkrit sehari-hari disebut “cara hidup” yang bagi penganutnya dianggap biasa, wajar, lazim, dan sudah semestinya. Sedangkan pengekspresian suatu adat yang dilaksanakan secara resmi dan melibatkan banyak orang biasanya disebut “upacara”. Upacara merupakan media atau wahana bagi ekspresi suatu adat. Dengan upacara, adat yang bermuatan nilai dan norma tertentu yang bersifat abstrak itu kemudian “diikrarkan”, dinyatakan, diwujudkan.

Setiap pelaksanaan upacara adat menuntut sejumlah syarat tertentu, baik para pelaku, waktu, tempat, maupun perlengkapannya (ubarampé). Suatu upacara adat akan memiliki nilai yang tinggi apabila semua persyaratan tersebut terpenuhi baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Setiap upacara adat yang dilaksanakan selalu mengandung maksud atau keperluan tertentu, di antaranya untuk pemujaan, permohonan, pencucian, penolakbalaan, inisiasi, ungkapan kesyukuran, pengukuhan, atau sekadar pengekspresian kegembiraan. Dalam praktek, suatu upacara adat acap kali merupakan gabungan ekspresi dari sejumlah maksud di atas sekaligus. Namun di atas segala-galanya, di setiap upacara adat pasti terkandung niat memohon keselamatan. Keselamatan merupakan kata kunci dalam setiap upacara adat, dan oleh karenanya dalam setiap upacara adat selalu terdapat acara berdoa memohon keselamatan (slametan; wilujengan) dengan berbagai cara dan sarana. Dalam suatu upacara adat biasanya akan ditampakkan simbol-simbol kesakralan, kekhidmatan, keagungan, keindahan, dan bahkan keceriaan. Adat dan tradisi yang menggejala dalam upacara-upacara tersebut hendaklah dipelihara dan dikembangkan, karena dalam setiap upacara adat senantiasa terdapat nilai-nilai kebijaksanaan hidup yang dikandung dan dipesankannya.

5. Tata Nilai Pendidikan dan Pengetahuan
Pendidikan merupakan proses pembudayaan manusia yang bertujuan untuk menumbuhkan, mengelola, dan meningkatkan kualitas kecerdasan kehidupannya, baik kecerdasan kejiwaan yang meliputi religio-spiritualitas (takwa), moralitas (karsa), emosionalitas (rasa), dan intelektualitasnya (cipta), maupun kesehatan dan pengembangan raganya. Oleh karena itu, kepada peserta didik bukan hanya dibekali ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan teknis suatu pekerjaan, melainkan harus ditanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang amat mendasar bagi kehidupannya sebagai makhluk yang berbudaya. Konsekuensinya, penyelenggaraan pendidikan harus mengedepankan penanganan dan penyediaan fasilitas yang baik bagi penumbuhan, pengelolaan, dan peningkatan ketakwaan, akhlak atau budi pekerti, kesopansantunan, seni budaya, kecakapan, ketrampilan, dan kesehatan beserta ketrampilan jasmani peserta didik. Penyenggaraan pendidikan harus membuka peluang seluas-luasnya bagi aktualisasi diri dan pengembangan atas segenap potensi yang dimiliki peserta didik.

Pengetahuan merupakan daur proses dan hasil pengenalan secara akumulatif dan terus-menerus yang dilakukan manusia terhadap diri sendiri dan apa saja di luar dirinya, baik mengenai benda-benda tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan, sesama manusia, maupun hal-hal yang bersifat adi-duniawi (supranatural). Dalam konteks hidup bersama dan konteks kesejarahan, pengetahuan sebagai hasil pengenalan manusia secara kolektif dipraktekkan, dipertukarkan, diajarkan, dihimpun, dikoreksi, dikembangkan, dan diwariskan dari zaman ke zaman. Pengetahuan merupakan sarana yang penting bagi manusia dalam rangka menunaikan tugas mulianya, yakni mengusahakan dan menjaga kebenaran, kebaikan, keindahan, keselamatan, dan kelestarian dunia (hamemayu hayuning bawana).

Dalam sejarah peradabannya yang panjang, budaya Jawa Yogyakarta telah memiliki begitu banyak pengetahuan mulai dari pengetahuan bercocok tanam (olah tetanèn), perhitungan musim dan iklim (pranata mangsa), peternakan dan perikanan, hewan piaraan (klangenan), pertukangan (kawruh kalang), metalurgi atau ilmu pengolahan logam baik logam biasa maupun logam mulia (mranggi), batu mulia, pertekstilan baik tenun maupun batik, peralatan rumah tangga, ukiran kayu dan logam, sarana transportasi, perancangan bangunan (arsitektur), penataan bangunan dan kawasan pemukiman (planologi), seni olah boga, seni tata busana (ngadi busana), seni perawatan tubuh dan kecantikan (ngadi salira), pengobatan (reracik jampi), hingga numerologi (ngèlmu pétung), dan masih terdapat seribu satu pengetahuan lain yang kesemuanya itu merupakan kearifan lokal dan kekayaan budaya yang amat berharga, dan oleh karenanya perlu dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman.

Bermacam ragam wujud pengetahuan yang dimiliki komunitas Jawa Yogyakarta tersebut merupakan pengetahuan dari yang bersifat teoritik sampai yang bersifat praktik, dari pengetahuan yang bersifat spiritual sampai ke pengetahuan yang bersifat material. Dalam praktek, sebenarnya tidak pernah ada pengetahuan yang memiliki satu dimensi saja. Pengetahuan yang tampaknya berdimensi praktik belaka, pada dasarnya juga memiliki dimensi teoritiknya. Pengetahuan yang tampaknya berdimensi material belaka, pada dasarnya juga memiliki dimensi spiritualnya. Begitu pula sebaliknya. Setiap pengetahuan yang bersifat kejawaan sebenarnya bersifat multidimensi. Keterbukaan dan kelenturan budaya Jawa Yogyakarta telah memperkaya khasanah pengetahuan yang dimilikinya karena pengetahuan yang datang dari berbagai penjuru sepanjang zaman senantiasa diakomodasi, diadopsi, diadaptasi, dan disinkretisasi dengan pengetahuan ciptaan sendiri dengan mengindahkan prinsip keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara yang lahiriah (material) dan yang batiniah (spiritual), antara yang profan dan yang sakral, antara yang bersifat fisik dan yang bersifat metafisik, antara yang duniawi (natural) dan adi-duniawi (supranatural), antara yang rasional dan yang supra-rasional, dan antara yang bersifat individual dan yang bersifat komunal dan sosial.

Mencari pengetahuan itu wajib hukumnya bagi setiap orang. Pencarian pengetahuan harus dijalani dengan usaha keras agar dapat dicapai hasil yang memadai (ngèlmu iku kelakoné kanthi laku). Usaha keras itu harus dilandasi dengan kemauan keras, kesungguhan hati, tekad, dan semangat, karena keempat hal itu akan memberikan kekuatan, ketabahan, dan kegigihan (lekasé lawan kas, tegesé kas nyantosani). Di samping itu, yang utama adalah keteguhan hati untuk tetap tegar menghadapi godaan hawa nafsu yang dapat menyesatkan (setya budya pangekesé dur angkara). Dengan demikian, pengetahuan yang dicari akan diperoleh dengan saksama dan berguna bagi kehidupan baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat, baik untuk kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrowi.

6. Tata Nilai Teknologi
Teknologi pada hakikatnya merupakan praktek penyiasatan atau rekayasa yang dilakukan oleh manusia untuk mempermudah dalam memenuhi kebutuhan, dan bahkan keinginan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Kecakapan dan ketrampilan teknologis bukan hanya dipergunakan untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, dan pengendalian alam, melainkan kini telah merambah ke bidang administrasi dan manajemen. Dengan siasat dan rekayasa teknologis, manusia semakin memperoleh kemudahan, kenikmatan, dan kenyamanan hidup.
Dalam sejarah peradaban yang panjang, budaya Yogyakarta telah memiliki begitu banyak dan beragam kecakapan dan ketrampilan teknologis. Kecakapan dan ketrampilan teknologis yang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya alam, meliputi kegiatan memenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, pemukiman, dan pengelolaan lingkungan hidup, telah dipraktekkan dengan prinsip keselarasan, serasian, dan keseimbangan antara ekploitasi dan konservasi, antara pemenuhan kebutuhan masa kini dan keberlanjutannya bagi masa depan (lumintu; sustainable), jangan sampai terjadi keserakahan eksploitasi secara berlebihan (angkara murka) sehingga dapat mengguncangkan dan merusak harmoni alam. Kelestarian alam amat ditentukan oleh kecakapan dan kebijaksanaan manusia (rahayuning bawana kapurba waskithaning manungsa). Keguncangan dan kerusakan alam sebagai makrokosmos akan mengguncang dan merusak keharmonisan kehidupan manusia sebagai mikrokosmos.

Kecakapan dan ketrampilan teknologis yang berkenaan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya manusia dipraktekkan dengan dilandasi oleh prinsip kemanusiaan. Manajemen sumber daya manusia dimaksudkan agar manusia dapat bekerja secara lebih produktif, lebih efisien, lebih kreatif dan inovatif, namun harus dihindari perlakuan-perlakuan yang ekploitatif sehingga merendahkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Pengelolaan sumber daya manusia bukan dimaksudkan untuk memeras dan merendahkan derajat manusia, melainkan justru untuk memuliakannya. Sesungguhnya, keselamatan dan kesejahteraan umat manusia hanya bisa terwujud apabila manajemen sumber daya manusia dilandasi oleh peri kemanusiaan (rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsané).

7. Tata Nilai Penataan Ruang dan Arsitektur
Secara historis dan filosofis, nilai-nilai dasar penataan ruang Yogyakarta telah diletakkan dan disusun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dan dilanjutkan oleh para penerusnya. Pemilihan lokasi topografis keraton (baik sebagai pusat spiritual, kekuasaan, maupun budaya), penentuan wujud dan penamaan sosok bangunan hingga detail ornamen dan pewarnaannya, tata letak dan tata rakit bangunan, penentuan dan penamaan ruang terbuka, pembuatan dan penamaan jalan, bahkan hingga penentuan jenis dan nama tanaman, kesemuanya itu secara simbolis-filosofis melambangkan nilai-nilai perjalanan hidup manusia dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam.

Perjalan hidup manusia dilambangkan dalam tata rakit bangunan dan tanaman dalam alur garis simbolis-filosofis dari Panggung Krapyak ke utara hingga Kompleks Kraton sektor selatan. Lambang itu menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak lahir dari rahim ibunya (Panggung Krapyak sebagai lambang “Yoni”, representasi gender perempuan) dan benih manusia (wiji; dilambangkan dengan nama Kampung Mijen di sebelah utara Panggung Krapyak), kemudian memasuki masa remaja (enom; sinom; dilambangkan dengan pucuk daun asam jawa) yang senantiasa menyenangkan hati (nyengsemaken; dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon asem atau asam jawa) dan penuh sanjungan (dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon tanjung). Setelah melewati masa remaja, manusia memasuki kedewasaan yang ditandai dengan akil baligh (dilambangkan dengan tanaman pohon pakel) dan keberanian (wani; dilambangkan dengan tanaman pohon kweni) untuk meraih peluang dan menjangkau jauh ke masa depan, melesat laksana anak panah yang lepas dari busurnya (dilambangkan dengan tanaman ringin kurung di Alun-Alun Kidul yang dikelilingi pagar berbentuk busur).

Setelah melewati masa remaja dan memasuki kedewasaan, sampailah kehidupan manusia pada tahap saling menyukai lawan jenis, yang kemudian dilanjutkan ke jenjang perkawinan. Konsekuensi perkawinan ialah bercampurnya “darah” lelaki (dilambangkan dengan tanaman pohon mangga cempora yang berbunga putih di Sitihinggil Kidul) dan “darah” perempuan (dilambangkan dengan tanaman soka yang berbunga merah).

Percampuran darah lelaki dan perempuan itu dilandasi kemauan bersama (gelem; dilambangkan dengan pohon pelem atau mangga di halaman Kamandhungan Kidul). Dengan didasari kemauan dan cinta kasih di antara keduanya, mengucur deraslah “benih” atau sperma menjumpai “telor” atau ovum (kaderesan sihing sesama; dilambangkan dengan tanaman jambu dersana), sehingga menggumpallah kedua unsur itu (kempel; dilambangkan dengan tanaman pohon kepel) menjadi bakal bayi (embrio). Bayi itu kelak akan lahir sebagai calon (magang; dilambangkan dengan Kemagangan) manusia dewasa.

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pada akhirnya manusia juga akan kembali kepada penciptanya. Garis simbolis-filosofis dari Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih hingga Kraton sektor utara melambangkan perjalanan manusia menghadap Sang Khalik. Dalam menempuh perjalanan kembali kepada Sang Khalik, manusia harus memulainya dengan tekad bulat menyatukan (golong-gilig; dilambangkan dengan Tugu Golong-Gilig) segenap kemampuan cipta, rasa, dan karsa untuk menyucikan hati (dilambangkan dengan cat warna putih pada Tugu Golong-Gilig tersebut sehingga tugu itu sering juga disebut sebagai Tugu Pal Putih). Tekad menyucikan diri itu harus melalui jalan keutamaan (dilambangkan dengan Margatama, nama jalan dari tugu ke selatan sampai kawasan Stasiun Kereta Api Tugu; sekarang bernama Jalan Pangeran Mangkubumi) dengan berbekal penerangan (obor; dilambangkan dengan nama jalan Malioboro) berupa ajaran para wali, lalu ditempuhlah jalan kemuliaan (mulya; dilambangkan dengan Margamulya, dahulu nama jalan yang menghubungkan Malioboro dengan Alun-Alun Utara).

Dalam menempuh perjalanan itu, diharapkan manusia dapat melewatinya dengan perasaan senang (sengsem; dilambangkan dengan tanaman wit asem atau pohon asam jawa) dan teduh hatinya (ayom; dilambangkan dengan tanaman pohon gayam yang dahulu ditanam di sepanjang jalan Margatama – Malioboro - Margamulya).

Kemuliaan itu harus dimantabkan dengan pengusiran segenap hawa nafsu dan perangai buruk (urakan; dilambangkan dengan Pangurakan). Memang tidak mudah jalan menuju Sang Khalik, laksana mengarungi samudera dengan deburan ombak yang dahsyat (alun; dilambangkan dengan Alun-Alun Lor). Setelah perjalanan hidup berakhir, manusia tidak serta merta langsung dapat bertemu dengan Sang Khalik, melainkan harus dengan sabar menanti (nganti-anti; dilambangkan dengan bangunan Bangsal Sri Manganti) di alam kubur menunggu giliran untuk ditimbang atau diteraju terlebih dahulu amal baik dan buruknya (ditraju; dilambangkan dengan bangunan Bangsal Trajumas) selama menjalani hidup di dunia, untuk kemudian memasuki kehidupan kekal di alam kelanggengan (dilambangkan dengan lampu Kyai Wiji yang berada di Gedhong Prabayaksa, lampu yang senantiasa hidup sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Bowono I hingga sekarang).

Dengan demikian, tata rakit bangunan, jalan, beserta tanaman dari Panggung Krapyak ke Kraton melambangkan asal mula dan tahap-tahap kehidupan manusia, sedangkan tata rakit dari Tugu Pal Putih atau Tugu Golong-Gilig ke Kraton melambangkan jalan dan tahap-tahap kembalinya manusia kepada Sang Khalik (sangkan paraning dumadi).

Kraton sebagai tempat tinggal Sultan merupakan pusat kekuasaan politik dan kebudayaan dengan landasan religiositas (disimbolkan ketika Sultan duduk bersamadi di singgasana Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara; pandangannya lurus ke utara menatap Tugu Golong-Gilig dan puncak Gunung Merapi). Sultan sebagai multi pemimpin, baik dalam bidang politik kenegaraan, kemasyarakatan, kebudayaan, maupun keagamaan (Sayidin Panatagama, Kalipatolah Ing Tanah Jawa) harus menyediakan ruang publik bagi aktivitas rakyatnya, baik yang bersifat spiritual-keagamaan (disimbolkan dan berwujud bangunan Mesjid Gedhé di sebelah barat Alun-Alun Utara), sosio-budaya (disimbolkan dan berwujud Alun-Alun), dan perekonomian (disimbolkan dan berwujud Pasar Beringharjo).

Bangunan kraton, masjid besar, alun-alun, dan pasar merupakan pengejawantahan konsep Caturgatra Tunggal, yakni konsep yang menyinergikan empat anasir secara harmonis bagi kesejahteraan kehidupan masyarakat, baik kesejahteraan lahiriah maupun batiniah.
Simbolisasi hubungan sinergis manusia dengan alam pertama-tama tampak pada pemilihan atas lokasi Negari Ngayogyakarta Hadiningrat yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Posisi geografis Yogyakarta diapit oleh enam sungai dalam formasi tiga lingkar sungai.

Lingkar pertama ialah Kali Code di sebelah timur dan Kali Winanga di sebelah barat. Lingkar kedua terdapat Kali Gajahwong di sebelah timur dan Kali Bedog di sebelah barat. Sedangkan lingkar ketiga ialah Kali Opak di sebelah timur dan Kali Progo di sebelah barat. Secara matematis, formasi itu menggambarkan bangun siklis-konsentris. Dalam bangun matematis seperti itu, kraton merupakan pusatnya (konsentris) dan pasangan sungai-sungai tadi menjadi lingkarannya (siklis). Lingkar pertama melambangkan pusat energi yang dalam konsep tri hita karana merupakan manifestasi kehidupan raja dengan segala keagungannya (ratu gung binathara; persemayaman parahyangan). Lingkar kedua di luarnya melambangkan kehidupan khalayak ramai (pawongan). Sedangkan lingkar ketiga di lapisan paling luar melambangkan sumber kehidupan berupa tanah dan air (palemahan).

Di samping formasi siklis-konsentris, tata rakit keruangan Yogyakarta juga memiliki formasi linier, yang tampak dalam “garis lurus” simbolis-filosofis berupa jajaran letak Gunung Merapi - Tugu Golong-Gilig - Kraton - Panggung Krapyak - Laut Selatan. Dalam rangkaian lima “titik” itu, tiga titik merupakan poros utama, yakni Gunung Merapai – Kraton – Laut Selatan. Tiga titik sederet ini juga bersesuaian dengan konsep Tri Hita Karana (parahyangan – pawongan – palemahan). Ketiganya juga melambangkan anasir api (Merapi), tanah (bumi Kraton), udara (angkasa Kraton), dan air (Laut Selatan) sebagai 4 anasir fisis utama pembentuk dunia dalam kosmogoni Jawa.

Dalam bidang biologis, dipesankan nilai-nilai kesuburan, yakni berpadunya alat kelamin perempuan (yoni; disimbolkan dengan bangunan Panggung Krapyak) dan alat kelamin laki-laki (lingga; disimbolkan dengan bangunan Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih). Baik dalam formasi siklis-konsentris maupun linier, nilai yang hendak disampaikan ialah bahwa dalam kehidupan hendaklah dibangun dan dijaga sinergi dan harmoni antara manusia dan alam, yakni hubungan manusia dengan benda-benda tak hidup, tumbuh-tumbuhan, dan binatang.

Nilai-nilai yang dipesankan secara simbolik dalam seluruh tata rakit keruangan yang telah dirintis Sri Sultan Hamengku Buwono I dan para penerusnya itu pada dasarnya, pertama, mengingatkan manusia agar senantiasa sadar diri (éling) tentang asal-muasal kehidupannya dan tempat kembalinya kelak (Sang Khalik). Dalam konteks keruangan secara fisik, nilai yang dipesankan ialah bahwa dalam tata rakit perkotaan atau kawasan, harus senantiasa disediakan ruang publik dan bangunan yang mencukupi bagi intensitas dan perkembangan komunikasi manusia dengan Tuhan. Secara lebih umum, tata rakit keruangan harus memungkinkan tumbuh dan berkembangnya religio-spiritualitas manusia secara wajar.

Kedua, nilai penting yang dipesankan dari perlambangan tata rakit keruangan Yogyakarta ialah terlaksananya hubungan antarmanusia secara wajar dan harmonis. Dalam konteks keruangan secara fisik, penataan atau tata rakit keruangan harus disediakan ruang publik yang mencukupi sebagai wahana interaksi antara manusia sebagai sarana pengembangan diri manusia secara manusiawi, baik dalam bidang ekonomi, politik kenegaraan, sosial, maupun kebudayaan. Dengan perkataan lain, tata rakit atau penataan ruang harus memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sosialitas manusia secara wajar.

Ketiga, pesan yang tak kalah penting dalam simbolisasi tata rakit penataan ruang Yogyakarta ialah tentang nilai-nilai hubungan yang sinergis-harmonis antara manusia dan alam. Dalam konteks keruangan secara fisik, tata rakit atau penataan ruang harus dapat menjamin terlaksananya transformasi dan sinergi energi antaranasir alam, baik yang berupa benda-benda tak-hidup (air, tanah, bebatuan, udara, api, dsb.), tumbuh-tumbuhan, maupun binatang, sebagai wahana dan sekaligus pendukung utama bagi kehidupan manusia. Dengan perkataan lain, penataan atau tata rakit keruangan harus menjunjung tinggi nilai-nilai ekologis dan mematuhi norma-normanya.

Dalam dunia arsitektur, dua hal utama yang penting ialah citra dan fungsi atau guna dalam suatu perencanaan sosok bangunan. Suatu sosok bangunan harus mampu menampilkan citranya sebagai bangunan dengan identitas nilai atau jatidiri tertentu dan fungsi yang harus diembannya. Kraton sebagai pusat budaya telah memberi teladan bahwa setiap bangunan senantiasa menggambarkan citra tertentu dengan muatan identitas nilai yang dikandung dan dipesankannya; dan fungsi yang melekat pada sosok bangunan sebagai wahana kegiatan manusiawi. Komponen bentuk atau struktur, besaran, warna, dan material yang dipakai dalam suatu bangunan harus bersinergi dan harmonis satu sama lain sehingga mencitrakan identitas nilai-nilai kejawaan yang dikehendaki dan memenuhi fungsi wahana kegiatan manusiawi. Secara garis besar, citra kejawaan yang ditampilkan melambangkan nilai-nilai kesakralan (teologis), kesusilaan (etis), kesopansantunan (etiketis), dan keindahan (estetis). Tiap-tiap bangunan menyandang citra utamanya masing-masing, meskipun acapkali suatu bangunan menyandang sejumlah citra sekaligus. Citra dan fungsi harus sinergis dan selaras. Konsekuensinya, di satu pihak citra harus dapat memenuhi dan menggambarkan fungsi dan di lain pihak fungsi harus sesuai dengan citra.

Keharmonisan suatu bangunan bukan saja ditentukan oleh komponennya, melainkan juga ditentukan oleh tata letak atau posisi dan rangkaian tiap-tiap bangunan sehingga tercipta komposisi dan konfigurasi antarbangunan yang selaras, serasi, dan seimbang. Suatu dominasi, apalagi kontras antar bangunan dalam suatu kawasan amat dihindari, karena dominasi atau kontras itu melambangkan disharmoni. Di samping itu, kegiatan manusiawi harus terjamin pelaksanaannya secara wajar dan layak oleh fungsi-fungsi yang diberikan oleh suatu bangunan. Oleh karena itu, suatu bangunan — rumah misalnya, bagi penghuninya harus layak sebagai ruang tinggal pribadi (longkangan), sebagai tempat kenyamanan dan kesehatan fisik beserta pemenuhan kebutuhan keseharian (panggonan), sebagai simbol ekspresi diri dan tempat interaksi sosio-budaya (palungguhan), dan sebagai tempat berkontemplasi atau berkomunikasi dengan Tuhan (panepèn).


8. Tata Nilai Mata Pencaharian
Meskipun hidup di dunia hanya sementara, tetapi tugas mulia yang harus ditunaikan manusia ialah bersungguh-sungguh berusaha keras secara terus-menerus (sepi ing pamrih ramé ing gawé) mengusahakan dan menjaga kebenaran, kebaikan, keindahan, keselamatan, dan kelestarian dunia (hamemayu hayuning bawana). Wujud nyata tugas mulia itu dilakukan manusia dengan bekerja. Orang tidak boleh berpangku tangan saja tanpa bekerja (lungguh jégang sila tumpang), dengan mengharap rejeki seakan-akan bakal jatuh dengan sendirinya dari langit (thenguk-thenguk nemu kethuk; ngentèni endogé blorok). Setiap orang harus bertekad bulat (cancut taliwanda) berusaha keras (mbudidaya) mengerjakan sesuatu pekerjaan yang berguna baik bagi dirinya sendiri, keluarganya, masyarakat sekitarnya, negaranya, maupun bagi ummat manusia seluruhnya.

Bekerja harus dilandasi kesungguhan lahir batin menghadapi segala tantangan, kesulitan, dan risiko yang mungkin timbul. Barang siapa yang takut dan malas menghadapi tantangan, kesulitan, dan risiko perkerjaan, dia takkan mendapat hasil yang layak (sapa wania ing gampang, wedia ing éwuh, sabarang nora tumeka). Dalam menghadapi setiap tantangan, kesulitan, dan risiko pekerjaan apa pun, orang harus senantiasa berteguh hati dalam berpendirian, handal dan ulet dalam menghadapi masalah, cakap dan tangkas dalam menyelesaikan persoalan (tatag, tanggon, trengginas). Dalam menyelesaikan pekerjaan bersama, masing-masing pihak yang terlibat harus memelihara kebersamaan dan kekompakan (saiyek saeka kapti) agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat.

Bekerja tidak boleh serampangan, terburu-buru, sembrono, dan asal jadi, melainkan harus teliti, cermat, dan penuh perhitungan, agar mendapat hasil yang maksimal (alon-alon waton kelakon, kebat kliwat, gancang pincang). Oleh karena itu, bekerja harus dirancang dan ditata dengan tertib, diorganisasikan dan dikelola dengan teratur (tata), semua kegiatan kerja harus dilaksanakan dengan cermat dan saksama (titi), setiap sasaran yang dituju harus ditempuh dengan langkah-langkah yang benar dan tepat (titis), dan semua pekerjaan harus diselesaikan dengan tuntas (tatas) tanpa menyisakan masalah. Hasil kerja ditentukan oleh seberapa besar pikiran, tenaga, dan biaya yang dicurahkan. Semakin tinggi hasil yang dikehendaki, semakin tinggi pula pengorbanan yang dituntut (jer basuki mawa béya).

Dalam melakukan pekerjaan, setiap orang menginginkan penghasilan yang layak bagi keberlangsungan hidupnya, untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Begitu pula dalam dunia perniagaan, memperoleh keuntungan merupakan tujuan utamanya. Akan tetapi, mencari keuntungan tidak boleh berujung keserakahan dengan cara membabi buta sehingga dapat berakibat merugikan orang lain. Setiap transaksi harus dilakukan dengan jujur dan adil. Harga ditetapkan dan disepakati menurut kualitas barang atau jasa yang ditransaksikan (ana rega ana rupa). Dengan demikian, mencari keuntungan berarti bukan hanya menguntungkan diri sendiri, melainkan juga menguntungkan orang lain sekaligus, alias saling menguntungkan. Mencari kemakmuran dan kesejahteraan berarti saling memakmurkan dan menyejahterakan satu sama lain.

Dalam mengelola perekonomian, tidak boleh menghambur-hamburkan pengeluaran uang tanpa pertimbangan matang. Pengeluaran harus dikelola dengan hemat, cermat, dan amat berhati-hati (gemi, nastiti, ngati-ati) dengan mempertimbangkan skala prioritas secara bijaksana menurut urgensinya, agar tata alur dan tata alir keuangan yang baik tetap terjamin keberlangsungannya. Kepentingan pribadi harus diperjuangkan, namun kepentingan bersama tetap harus dijaga. Perniagaan tidak boleh menyuburkan egoisme dan individualisme, melainkan harus tetap dapat menjamin keharmonisan dan persaudaraan dalam masyarakat. Dalam situasi yang amat sulit, untuk sementara waktu berniaga dengan rugi sedikit tidak mengapa asal persaudaraan dan kesejahteraan bersama tetap terjaga (tuna satak, bathi sanak).

9. Tata Nilai Kesenian
Kesenian merupakan ekspresi estetik manusia dalam menjalani dan memaknai kehidupan dengan berbagai cara dan sarana baik yang terdapat pada diri manusia sendiri, hasil ciptaannya, maupun segala sesuatu yang disediakan oleh alam. Ekspresi estetik yang terwujud dalam karya seni merupakan kebutuhan hakiki manusia sebagaimana kebutuhan hakiki lainnya. Berkesenian pada dasarnya merupakan proses perealisasian diri manusia untuk meneguhkan eksistensinya baik sebagai pribadi maupun anggota suatu komunitas.
Keindahan dan pesona kesenian bukan hanya merupakan ekspresi diri yang eksklusif bagi seniman, pekerja seni, atau pun hanya menjadi bidang kajian bagi pengamat seni belaka, melainkan sekaligus merupakan media komunikasi spiritual manusia dengan Tuhan, komunikasi sosial manusia dengan sesama manusia, dan komunikasi natural manusia dengan seluruh penghuni alam semesta. Kesenian juga berfungsi sebagai ekspresi simbolik kehidupan manusia: siklus hidupnya, kegembiraannya, kesedihannya, penjelajahan baik lahir maupun batinnya, kegelisahannya, kecemasannya, dan juga pengharapannya. Di samping sebagai media komunikasi dan ekspresi simbolik, kesenian juga menjadi sarana hiburan dan sekaligus media edukasi (tontonan lan tuntunan).

10. Tata Nilai Bahasa
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 mengikrarkan satu tanah air, Tanah Air Indonesia; satu bangsa, Bangsa Indonesia; dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Tampak jelas bahwa Sumpah Pemuda tidak pernah menafikan apalagi memiliki semangat menghapuskan bahasa daerah. Bahasa-bahasa daerah tetap dijaga eksistensinya sebagai kekayaan ekspresi budaya Indonesia yang amat berharga, namun Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus dijunjung tinggi baik sebagai sarana ekspresi keilmuan dan komunikasi intelektual, untuk keperluan resmi seluk-beluk kenegaraan, maupun sebagai sarana komunikasi antarsuku bangsa di seluruh Indonesia.

Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah Yogyakarta yang masih dipergunakan dalam keseharian masyarakat Yogyakarta, di samping bahasa Indonesia dan bahasa asing. Sebagai “arsip kebudayaan”, Bahasa Jawa memuat begitu banyak kearifan yang telah diciptakan dan dipraktekkan oleh komunitas Jawa dalam sepanjang sejarahnya. Sebagai sarana komunikasi, Bahasa Jawa menunjukkan dan sekaligus mengatur hubungan antar manusia, baik strata usia, strata sosial, hubungan kekerabatan, maupun konteks komunikasinya. Itulah mengapa, dalam Bahasa Jawa dikenal tingkatan-tingkatan berbahasa dalam berkomunikasi (unggah ungguhing basa) sesuai posisi masing-masing pihak dalam tata komunikasi, agar harmoni pergaulan sosial tetap terjaga dengan baik.

Harmoni pergaulan sosial akan tetap terjaga dengan baik, apabila setiap orang mengerti dengan tepat posisinya dan dapat menggunakan bahasa dengan tepat pula: tepat penggunaan kata-kata baik dalam mentaati kaidah-kaidah Bahasa Jawa yang baik dan benar maupun perspektif waktu, tempat, dan konteks (empan papan duga prayoga). Barang siapa dapat menggunakan bahasa dengan tepat, maka dia telah mengerti dan mampu mempraktekkan tata krama, dan ia terjauhkan dari celaan (tata krama iku ngadohké ing panyendhu).

Sesungguhnya, cara berbahasa seseorang menunjukkan watak dan kepribadiannya.
Mengingat betapa pentingnya bahasa ini, maka Pemerintah Daerah dan seluruh lapisan masyarakat Yogyakarta harus menjaga, melestarikan, dan mengembangkan bahasa Jawa, baik dalam bentuk tuturan maupun tulisan, di dalam pergaulan hidup yang wajar, dan menjadikannya salah satu mata ajaran dalam dunia pendidikan.

11. Tata Nilai Benda Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya
Wujud fisik kebudayaan (budaya material) sebagai hasil aktualisasi kemampuan cipta, karsa, dan rasa masyarakat Yogyakarta yang kasat mata (tangible) merepresentasikan tahap-tahap peradaban beserta ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Dari segi bentangan waktu kronometris (temporal), peninggalan benda-benda budaya di Yogyakarta menunjukkan jejak-jejak peradaban prasejarah, Hindu-Buddha, Islam, Kolonial, hingga zaman modern. Dari segi keruangan (spacial), benda-benda budaya bersejarah itu tersebar mulai dari pegunungan, dataran, hingga pesisir Laut Selatan. Dari segi bentuk (formal), benda-benda budaya yang ditemukan menunjukkan bermacam-ragam varian dan tingkat-tingkat kemajuan teknologi zaman pembuatan benda-benda itu mulai dari peralatan sederhana yang dipergunakan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup hingga bangunan-bangunan megah, baik sebagai tempat pemujaan maupun tempat kebesaran pusat pemerintahan. Dari segi bahan (material), benda-benda bersejarah itu dibuat dari aneka macam bahan mulai dari tanah liat, batu, batu mulia, besi, kayu, keramik, perunggu, hingga logam mulia. Sedangkan dari segi cara pengerjaan (technical), ditemukan sejumlah teknik pengerjaan mulai dari cetak, tuang, bakar, tempa, serut, tera (grafir), gosok (upam), hingga ukir.
Benda-benda budaya bersejarah itu merepresentasikan peradaban masa pembuatannya, memberi informasi tentang latar belakang budaya masa lalu, dan meninggalkan pesan kearifan bagi kehidupan manusia masa kini. Sesungguhnya kehidupan manusia itu senantiasa dalam rentetan kekinian, yang dalam setiap kekinian senantiasa termuat seluruh masa lalu dan sekaligus termuat proyeksi seluruh kemungkinan masa depan. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang berbudaya wajib dan harus berusaha keras agar setiap benda budaya bersejarah dan kawasan situs yang melingkupinya senantiasa dijaga, dilestarikan, dan dilindungi sebagai benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya.

12. Tata Nilai Kepemimpinan dan Pemerintahan
Dalam hidup bersama, sekumpulan manusia membutuhkan pemimpin. Seorang pemimpin dituntut memiliki kelebihan dibanding yang dipimpin baik dalam hal pengetahuan, keberanian, maupun kearifan. Seorang pemimpin harus berani tampil di depan memberi teladan bagi yang dipimpin (ing ngarsa sung tuladha), seorang pemimpin harus mampu menggugah semangat atau memotivasi yang dipimpin (ing madya mangun karsa) agar lebih giat dalam perjuangan hidup, dan memberi dorongan, kekuatan, dan perlindungan (ing wuntat tut wuri handayani) agar yang dipimpin kian percaya diri dan senantiasa memperoleh kemajuan dalam menapaki kehidupan.

Dalam pemerintahan, seorang pemimpin harus merangkul, mengasihi, dan melindungi segenap rakyat (hamengku) tanpa membeda-bedakan etnis, suku, ras, golongan, dan agama yang dipeluknya, agar seluruh rakyat merasa tenteram dan damai (ayom ayem). Pemimpin harus berusaha keras agar rakyat dapat menikmati kehidupan yang layak (hamangku), oleh karenanya seorang pemimpin harus berwatak murah hati dan menepati janji (bèr budi bawa leksana). Bermurah hati artinya seorang pemimpin ibaratnya harus siap memberi pakaian kepada rakyat yang tak punya pakaian (paring sandhang wong kawudan), memberi makan kepada rakyat yang kelaparan (paring pangan wong kaluwèn), memberi air kepada rakyat yang kehausan (paring banyu wong kasatan), memberi tongkat kepada rakyat yang menapaki jalan licin (paring teken wong kalunyon), memberi peneduh kepada rakyat yang kepanasan (paring kudhung wong kepanasan), dan memberi payung kepada rakyat yang kehujanan (paring payung wong kodanan).

Menepati janji artinya tidak ingkar dan konsekuen atas perkataannya, sebab ucapan seorang pemimpin harus dapat dipegang, tidak boleh asal bicara dan plinplan (sabda pandhita ratu sepisan dadi dhatan kena wola-wali, pindha nila kresna tumetes ing dalancang seta). Dalam situasi yang sulit, pemimpin harus mengambil tanggung jawab terdepan dalam menyelesaikan permasalahan (hamengkoni) agar rakyat terbebas dari kesulitan dan kesengsaraan; dan rakyat merasa terlindungi oleh pemimpinnya.

Sebagai seorang manajer, pemimpin atau pejabat harus cakap mengelola (anata) tata pemerintahan dengan baik sehingga semua unit kerja yang dikoordinasikan dan dikendalikannya dapat berperan dan berfungsi dengan saksama. Agar semua unit kerja terjaga kinerjanya, maka seorang pemimpin harus mengamati dan meneliti dengan cermat (aniti) apa yang dikerjakan dan cara kerja anak buahnya. Pemimpin harus senantiasa memantau keadaan rakyatnya (apariksa) sehingga dapat diketahui apa saja yang dibutuhkan rakyatnya dan berusaha keras mengusahakan pemenuhan kebutuhan itu.

Demi tegaknya keadilan dan kewibawaan, pemimpin harus memberi ganjaran bagi aparat atau rakyat yang berjasa dan menghukum aparat atau rakyat yang bersalah (amisésa).
Agar pemimpin dapat pemimpin dengan mumpuni, maka dia harus dapat meneladani watak dan tugas yang diemban 8 dewa (asthabrata). Pertama, pemimpin harus dapat meneladani Bathara Endra, yang bertugas menurunkan hujan. Dengan hujan bumi disuburkan, tanaman ditumbuhkan, hewan-hewan digemukkan, udara dan hati disejukkan. Jadi, pemimpin harus dapat memberikan peluang bagi pemenuhan kebutuhan, kesejahteraan, dan kedamaian bagi rakyatnya. Kedua, pemimpin harus dapat meneladani Bathara Yamadipati, yang bertugas menghukum manusia yang bersalah tanpa pandang bulu. Dengan demikian, seorang pemimpin harus tegas dan adil dalam menjatuhkan hukuman bagi siapa pun yang bersalah tanpa pandang bulu. Ketiga, pemimpin harus dapat meneladani Bathara Surya, yang betugas menghisap air dengan cermat, telaten, sabar, tidak tergesa-gesa, dan tidak kentara, sehingga tugasnya dapat terlaksana dengan tanpa guncangan atau gejolak. Pemimpin harus dapat mencapai tujuannya dan menghadapi persoalan dengan sifat-sifat seperti diteladankan Bathara Surya itu.

Keempat, pemimpin harus dapat meneladani Bathara Candra, yang bertugas menerangi dunia dari kegelapan dengan kesejukan dan keindahan cahayanya. Pemimpin harus halus budi bahasanya, bertindak-tanduk sopan dan manis, dan membuat keputusan yang dapat menyejukkan dan membahagiakan hati rakyatnya.

Kelima, pemimpin harus dapat meneladani Bathara Bayu, yang dapat menelusup dan menjelajah ke seluruh relung semesta tanpa terketahui sosoknya. Pemimpin diam-diam harus memiliki kemampuan untuk memonitor apa yang terjadi di tengah-tengah rakyatnya, mencermati dengan teliti pihak-pihak mana yang mendukung atau membangkang kepadanya, agar dia dapat mengambil sikap dengan bijaksana.

Keenam, pemimpin harus dapat meneladani Bathara Kuwera, yang dengan murah hati bertugas memberikan makanan kepada seluruh isi dunia tanpa pilih kasih. Pemimpin harus berusaha keras memakmurkan segala lapisan rakyatnya, sehingga rakyatnya tidak menderita dan senantiasa setia kepada pemimpinnya.

Ketujuh, pemimpin harus dapat meneladani Bathara Baruna, yang dengan keteguhan hati dan senjata Nagapaksa di tangannya, diringkusnya segala penjahat dan pengacau dunia. Pemimpin harus berteguh hati dan memiliki cara yang efektif untuk memberantas para penjahat dan pengacau agar rakyat merasakan keamanan dan ketenteraman. Kedelapan, pemimpin harus dapat meneladani Bathara Brama, yang dengan kesaktian apinya membasmi musuh dari mana pun asalnya dan apa pun tujuannya. Pemimpin harus mampu melindungi negara dan rakyatnya dari rongrongan dan serangan musuh baik dari dalam maupun dari luar dan membasminya sampai tuntas. Kedelapan watak dan kecakapan tersebut amat penting bagi pemimpin yang berjiwa kesatriya sebagai sarana untuk mendarmabaktikan dirinya kepada negara dan rakyat, karena darma bakti pemimpin yang benar akan menjamin kesejahteraan dan keselamatan negara dan rakyatnya (darmaning satriya mahanani rahayuning nagara).


13. Tata Nilai Kejuangan dan Kebangsaan
Jogjakarta merupakan salah satu komponen yang amat penting dalam sejarah Republik Indonesia. Sejak Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan Negari Ngayogyakarta Hadiningrat berdasarkan Perjanjian Giyanti sebagai wujud kemandirian dan kedaulatan politik atas dominasi Pemerintah Hindia Belanda, diteruskan oleh perjuangan Pangeran Diponegoro, berdirinya organisasi Budi Utomo, Kongres Perempuan, Kongres Pemuda I, kemudian menjelang dan setelah proklamasi — rentetan peristiwa di saat-saat genting dalam mempertahankan eksistensi Negara Republik Indonesia yang masih muda itu — hingga gerakan pendorong lahirnya reformasi. Seluruh rentetan peristiwa itu menunjukkan betapa rakyat Jogjakarta memiliki, memegang teguh, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejuangan dan kebangsaan. Segera setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII pada tanggal 19 Agustus 1945 mengirim telegram ucapan selamat dan dukungan atas berdirinya Negara Indonesia. Pada tanggal 19 Agustus 1945 itu juga ternyata Presiden Sukarno menandatangani Piagam Penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII dalam kedudukannya sebagai Pemimpin Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, yang oleh Presiden Repubilk Indonesia keduanya dipercaya akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan Daerah Jogjakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia.

Selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII secara sendiri-sendiri pada tanggal 5 September 1945 mengeluarkan maklumat bahwa Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menjadi bagian tak terpisahkan dari Negara Indonesia, dan kedua pemimpin tetap menjadi kepala negeri masing-masing yang bersifat kerajaan; dan negerinya itu merupakan Daerah Istimewa dalam Negara Republik Indonesia. Hubungan kedua negeri tersebut dengan Pemerintah Pusat Negara Kesatuan Republik Indonesia bersifat langsung dan kedua pemimpin Jogjakarta itu bertanggung jawab secara langsung atas negeri masing-masing kepada Presiden Republik Indonesia. Maklumat kedua pemimpin Jogjakarta itu mendapat sambutan baik dari Pemerintah Pusat Republik Indonesia di Jakarta. Tanggal 6 September 1945, Pemerintah Pusat mengutus Mr. Sartono dan Mr. A.A. Maramis menyerahkan ”Piagam Penetapan Kedudukan” yang telah ditandatangai Presiden Sukarno pada tanggal 19 Agustus 1945 itu kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII.

Ketika Jakarta kurang aman, ibu kota negara dipindahkan ke Jogjakarta atas saran Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di Jogjakartalah eksistensi Negara Republik Indonesia yang masih muda itu dipertaruhkan dan dengan mati-matian dipertahankan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sri Paku Alam VIII, para birokrat, para diplomat, para pejuang bersenjata, dan seluruh rakyat Jogjakarta bahu-membahu menegakkan Republik Indonesia dengan pengorbanan pikiran, tenaga, harta benda, bahkan nyawa. Semua itu dipersembahkan tampa pamrih (sepi ing pamrih) demi tegaknya eksistensi Negara Republik Indonesia. Semangat berani dan rela berkorban, kesetiakawanan sosial (solidaritas; sabaya pati, sabaya mukti), persatuan dan kekompakan (saiyek saéka praya) baik antar pemimpin, antar rakyat, maupun antara rakyat dan pemimpin (manunggaling kawula gusti), jiwa tanpa pamrih, cinta tanah air (patriotisme), rasa kebangsaan (nasionalisme), dan kegigihan menjaga martabat bangsa dan negara (sedumuk bathuk senyari bumi; dilabuhi pecahing jaja wutahing ludira) merupakan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi masyarakat Jogjakarta.

Partisipasi warga Jogjakarta dalam pemperjuangkan dan dengan gigih mempertahankan tegaknya kemerdekaan dan eksistensi negara Republik Indonesia itu dilandasi oleh kesadaran bahwa dalam diri tiap-tiap warga tertanam perasaan memiliki negara ini (duwé rasa handarbèni), sehingga apabila terjadi sesuatu yang dapat mengancam, merusak, atau bahkan merobohkan kedaulatan negara, warga Jogjakarta siap berjuang sampai titik darah yang penghabisan (wani mèlu hangrungkebi). Setiap warga Jogjakarta senantiasa mawas diri dan berusaha keras memberi kontribusi kepada masyarakat, bangsa, dan negara (mulat salira hangrasa wani).

14. Tata Nilai Semangat Keyogyakartaan
Dalam mengaktualisaikan nilai-nilai luhur (adiluhung) sebagaimana diuraikan di atas, dan dalam rangka meraih cita-cita mulia yakni menjaga kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kelestarian dunia (hamemayu hayuning bawana), masyarakat Yogyakarta memiliki nilai-nilai khas sebagai penciri khusus keyogyakartaan dan dijadikan semangat dalam mengaktualisasikan nilai-nilai luhur itu.

Dalam mengaktualisasikan nilai-nilai adiluhung tersebut, masyarakat Yogyakarta selalu berusaha keras bersatu-padu dan bahu-membahu mengerahkan segenap sumber daya baik yang aktual maupun yang masih potensial dari semua pihak, baik tua maupun muda, baik lelaki maupun perempuan, baik atasan maupun bawahan, baik pemimpin maupun rakyat (golong gilig), sehingga seluruh sumber daya itu dapat terkonsentrasi (sawiji) untuk didayagunakan meraih cita-cita dan hasil yang didambakan. Semua langkah itu harus diayunkan dengan senantiasa disertai semangat yang menggugah dan membangkitkan kegigihan dan kerja keras yang dinamis (greget).

Dengan segala potensi yang dimilikinya, Masyarakat Yogyakarata senantiasa percaya diri dalam bertindak (sengguh), tidak akan mundur setapak pun (konsisten) dan siap menanggung segala risiko apa pun (konsekuen) yang harus dihadapi (ora mingkuh) dengan penuh rasa tanggung jawab (lamun kapéngkoking pancabaya ubayané datan mbalénjani) demi terwujudnya cita-cita yang diidam-idamkannya.

PENUTUP
Perumusan suatu tata nilai budaya apa pun tidak akan pernah dapat dengan lengkap dan sempurna menggambarkan tata nilai budaya yang dimaksud, karena suatu tata nilai budaya bukan merupakan suatu perwujudan yang kasat mata, diam, dan sederhana, melainkan sesuatu yang abstrak, rumit, dan dinamik. Oleh karena itu, rumusan Tata Nilai Budaya Yogyakarta ini harus dipandang sebagai upaya perumusan yang secara periodik harus senantiasa ditinjau dan disempurnakan terus-menerus agar dapat dijadikan kiblat (orientasi), acuan (referensi), insipirasi, dan sumber pedoman bagi perilaku budaya dan peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan budaya masyarakat Yogyakarta selaras dengan tuntutan zaman dan dalam semangat hamemayu hayuning bawana.
Di samping itu, harus disadari pula bahwa rumusan Tata Nilai Budaya Yogyakarta ini, sama sekali tidak dimaksudkan sebagai bentuk eksklusifisme kesukuan atau kedaerahan, melainkan sebagai bentuk pengukuhan jati diri budaya keyogyakartaan sebagai bagian integral dari kebhinekatunggalikaan kebudayaan nasional dan menjadi salah satu bagian dari keberagaman kebudayaan internasional.

Sumber: Sapujagat.
Wis ngono wae…

JOGJA Keraton sebagai Pusat Kerajaan dan Kebudayaan

Keraton Yogyakarta dibangun pada jaman pemerintahan HB I, yaitu pada tahun 1756 Masehi atau tahun Jawa 1682. Mengapa lambang keraton berupa dua naga yang saling melilit? Itu merupakan simbol tahun pendirian Keraton. Setiap angka mengandung arti. Tahun 1682 dibaca dari belakang seperti berikut: 2 = dwi, 8 = naga, 6 = rasa, dan 1 = tunggal. Hebatnya, ungkapan dwi naga rasa tunggal itu dapat dibaca menjadi dwi nagara satunggal yang artinya adalah ”dua negara yang satu adanya”. Meskipun Mataram terpecah menjadi dua kerajaan (Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta), pada hakikatnya adalah satu. Dalam hal ini, HB I memang sangat menekankan kesatuan bangsa!

Keraton Yogyakarta yang bangunannya menempati kawasan seluas 14.000 meter pesegi itu mempunyai arti yang sangat penting. Pertama, keraton Yogyakarta merupakan simbol eksistensi kerajaan Mataram yang kejayaannya masyur di jaman dulu. Berdasar perjanjian Giyanti (1755), Kasultanan Yogyakarta merupakan penerus sah kerajaan Mataram.

Kedua, keraton atau keratuan (ke-ratu-an) atau dalam bahasa Jawa kedhaton, adalah tempat tinggal raja dan tempat bersemayam raja. Kalau rakyat hendak menghadap raja, mereka harus datang ke keraton ini. Pada masa silam, para wakil kawulo (rakyat) harus berbusana putih-putih dan berjemur di alun-alun keraton untuk menghadap raja (tradisi laku pepe).

Ketiga, keraton merupakan pusat pemerintahan politis. Wilayah kekuasaan kasultanan diklasifikasi menurut konsep lapisan konsentris trimandala praja. Lapisan terdalam yang merupakan wilayah pusat kerajaan disebut nagara. Ini adalah ibukota kerajaan yang menjadi tempat tinggal raja dan para pejabat penting. Pusat nagara adalah keraton. Lapisan kedua disebut wilayah nagaragung, yaitu daerah-daerah sekitar kota (ommanlanden). Lapisan ketiga disebut wilayah monconagara, yaitu daerah-daerah yang jauh (buiten-gawesten).

Keempat, keraton Yogyakarta adalah pusat kebudayaan Jawa. Dari sinilah kebudayaan Jawa dikembangkan, ditularkan, dan diwariskan. Keraton mempunyai ahli-ahli budaya dan para pujangga. Raja yang arif seperti HB I adalah pencipta dan pengembang kebudayaan yang kreatif. Ia mewariskan pemikiran-pemikiran filosofis dan juga karya-karya seni.

Kelima, keraton adalah pusat kerohanian (spiritualitas). Raja adalah seorang panatagama atau kalifatulah, yaitu seorang pemimpin agama. Keraton Yogyakarta juga merupakan pusat kekuatan magis yang terhubung dengan garis lurus mistis dengan kekuatan spiritual gunung Merapi di sebelah utara dan kekuatan spiritual samudera Hindia (kerajaan Nyai Roro Kidul) di sebelah selatan.

Wibawa keraton sebagai pusat eksistensi Mataram, pusat kekuatan politis, pusat budaya, dan pusat spiritualitas masih terasa sampai sekarang. Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX mangkat (3 Oktober 1988), ratusan ribu rakyat membanjiri ke keraton. Seluruh Yogyakarta berkabung. Pemerintah RI menetapkan tujuh hari berkabung nasional. Gejala-gejala spiritual pun terjadi. Saat itu, di langit muncul pelangi putih aneh yang dipercaya sebagai tanda kematian (teja bathang). Saat jenazah HB IX disemayamkan, hujan aneh turun di Yogyakarta. Hujan aneh juga tumben turun di Washington D.C. (Amerika Serikat) pada hari meninggalnya HB IX di rumah sakit yang ada di kota metropolitan itu. Dahulu, saat HB VIII wafat (22 Oktober 1939), mendadak petir (halilintar) meledak di langit Yogyakarta yang cerah. Menurut buku Babad Tanah Jawi, gunung-gunung meletus pada hari wafatnya Sultan Agung.

(oleh: Haryadi Baskoro)
Wis ngono wae...

JOGJA dari Sultan ke Sultan

Kepada majalah Tempo (17 Oktober 1987), Sri Sultan HB IX pernah menegaskan bahwa gelar ”Sultan Hamengku Buwono” akan tetap ada turun-temurun. Nama itu merupakan penggalan dari sebuah gelar panjang sebagai berikut: Sampeyan Dalem Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Nglaga Ngabdul Rahman Sayidin Panata Gama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping ... ing Nagari Ngayogyokarto Hadiningrat Mataram. Nama ini menunjukkan otoritas dirinya sebagai seorang raja yang bertahta dan berkuasa secara politik, militer, dan sosial keagamaan.

Sudah lebih dari 250 tahun ini (sejak 1755) Kasultanan Yogyakarta berdiri dan berkembang. Sultan berganti Sultan. Setiap raja memancarkan kemuliaannya sendiri-sendiri. Karya-karya semasa mereka hidup menorehkan sejarah tersendiri.

HAMENGKU BUWONO I (1755-1792)
Nama kecil HB I adalah B.R.M. Sudjono. Setelah dewasa, sebelum naik tahta, HB I mempunyai nama Bendara Pangeran Hario (B.P.H.) Mangkubumi. Raja yang senang bertapa ini adalah seorang pembelajar. Filsafat, ilmu kemiliteran, dan ilmu pemerintahan ditekuninya. Ketika pada suatu hari bersemadi di desa Beton (sebelah timur Kraton Surakarta), ia mendapatkan visi (wahyu, wangsit) tentang bagaimana dirinya harus menjadi seorang pemimpin yang bisa mengayomi segenap rakyat.

Meskipun ia seorang pejuang yang melawan Penjajah dengan gagah berani, jiwa seninya sangat kuat. Beberapa karya seninya adalah tarian Beksan Lawung, tarian Wayang Wong, tarian Eteng, seni wayang Purwo, dan seni arsitektur Kraton Yogyakarta.

HAMENGKU BUWONO II (1792-1812)
Sebutan lain untuk HB II adalah Sultan Sepuh. Adapun nama kecilnya adalah Gusti Raden Mas Sundoro. Raja yang nasionalis ini berani menentang Penjajah. Ia tidak segan-segan menjuluki Gubernur Jenderal Daendeles sebagai orang yang tidak tahu adat dan melanggar tata krama. Karena sikapnya yang anti-kolonialisme itu, HB II sempat dibuang ke Pulau Pinang dan Ambon.

Karya sastra HB II berjudul Serat Surya Raja, menggambarkan tentang bagaimana seandainya dua buah kerajaan bersatu kembali di bawah kepemimpinan seorang raja yang arif (Purwadi, 2007).

HAMENGKU BUWONO III (1812-1814)
Pemilik nama kecil Gusti Raden Mas Surayo ini adalah ayah dari Pangeran Diponegoro, seorang pahlawan legendaris. HB III sendiri adalah seorang nasionalis. Ia menepati petuah ayahnya (HB II) untuk bersikap anti-kolonialis. Namun, pada masa Penjajahan Inggris di Indonesia, HB III terdesak. HB III terpaksa harus melepaskan haknya atas tanah-tanah di Kedu, Pacitan, Japan, Jipan, dan Grobogan. HB III hanya bertahta selama dua tahun karena meninggal pada usia 43 tahun.

HAMENGKU BUWONO IV (1814-1823)
Pada usia 13 tahun, G.R.M. Ibnu Jarot diangkat menjadi Sultan HB IV. Pengangkatan itu dilakukan atas usul residen Gernham. Karena masih terlalu muda, dibentuklah Dewan Perwakilan untuk membantu kepemimpinanya. Dewan itu terdiri dari Danurejo IV, Raden Tumenggung Pringgodiningrat, Raden Tumenggung Ranadiningrat, dan RadenTumenggung Mertanegara. Sayangnya, tim ini rawan konflik karena masing-masing anggotanya memiliki kepentingan sendiri-sendiri (Purwadi, 2007). Namun, selama masa pemerintahannya, HB IV cukup mendapat dukungan dari rakyat.

HAMENGKU BUWONO V (1823-1855)
HB V lahir pada tanggal 24 Januari 1820 dengan nama kecil G.R.M. Gathot Menol. Ia diangkat menjadi Sultan ketika berusia 3 tahun (1823). Karena masih kanak-kanak, ia didampingi oleh sebuah Dewan Perwalian yang terdiri dari neneknya (Kanjeng Ratu Ageng), ibunya (Kanjeng Ratu Kencana), Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Diponegoro (anak dari HB III). Namun, Pangeran Diponegoro kemudian meletakkan jabatan itu. Ia bersama dengan Sentot Prawirodirjo dan Kyai Maja memberontak melawan Penjajah Belanda.

HAMENGKU BUWONO VI (1855-1877)
Nama kecil HB VI adalah G.R.M. Mustojo. Semasa pemerintahannya, Mataram (Kasultanan, Pakualaman, Kasunanan, dan Mangkunegaran) mengalami kemunduran secara politis. Menurut Ricklefs, kemunduran dalam bidang politik ini justru mendorong kamajuan di bidang sastra dan budaya (Purwadi, 2007). Masa ini bisa disebut sebagai masa renaisans kesusastraan Jawa klasik. Para pujangga mendapat peluang besar untuk berkarya pada waktu itu. Salah seorang yang terkenal adalah Raden Panji Nataroto. Disamping produktif dalam menulis, ia juga seorang ahli kebatinan.

HAMENGKU BUWONO VII (1877-1919)
Nama kecil HB VII adalah G.R.M. Murtejo. Menurut Serat Babad Mentaram (1898), penghasilan Kasultanan mengalami peningkatan. Kasultanan memperoleh keuntungan dari hutan jati di Wonosari, penyewaan tanah, dan bisnis tujuh belas pabrik gula. Kecuali itu, Kasultanan juga memperoleh keuntungan dari pembayaran ijin penggunaan jalur kereta api (jalur Yogyakarta-Tempel-Magelang, jalur Yogyakarta-Pundong, dan jalur Brosot-Samigaluh). Menjelang masa tua, HB VII meletakkan tahta dan memilih untuk nyepi (lengser keprabon mandeg pandhita). Untuk itu, HB VII yang juga disebut sebagai Sultan Sugih membangun pesanggrahan Ambarukmo (Saat ini terletak di antara Hotel Ambarukmo dan Ambarukmo Plaza).

HAMENGKU BUWONO VIII (1921-1939)
Sebelum dinobatkan menjadi HB VIII, ia bernama G.R.M. Suyadi. Pada masa HB VIII bertahta, intervensi Belanda dalam pemerintahan Kasultanan Yoyakarta semakin kuat. Bahkan, posisi tawar Kasultanan dinyatakan semakin lemah dalam Acte van Verband yang merupakan politiek contract antara Belanda dengan HB VIII. Pertama, kedudukan Sultan semata-mata ada karena pemberian Belanda, bukan karena berhak sebagai raja. Kedua, Sultan harus setia dan mengabdi kepada Belanda. Ketiga, Sultan tidak berwenang mengubah peraturan yang berlaku di dalam Kraton, kecuali atas persetujuan Belanda.

Menjelang wafat, HB VIII cepat-cepat mengalihkan tongkat estafet kepemimpinan kepada putranya (G.R.M. Dorojatun). HB VIII memanggil pulang putranya kembali ke tanah air dan memberinya pusaka Kraton (Kyai Jaka Piturun) sebagai lambang suksesi.

HAMENGKU BUWONO IX (1940-1988)
Karena kondisi Kasultanan ditekan selama masa ayahnya bertahta, G.R.M. Dorojatun sangat mewaspadai strategi Belanda. Henkie (nama lain Dorojatun) tidak langsung mau menandatanggani politiek contract yang disodorkan Belanda menjelang hari penobatannya sebagai HB IX. Sebagai seorang nasionalis sejati, Henkie keberatan sehingga proses perundingan menjadi alot dan lama (November 1939 – Februari 1940). Tetapi, saat sedang tiduran sore di suatu senja di bulan Februari 1940, tiba-tiba Henkie mendengar bisikan gaib (wisik), ”Tole tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene” (Nak, tanda tangani saja kontrak itu sebab Belanda akan pergi dari daerah ini). Benar, dua tahun setelah Henkie menandatangani perjanjian itu (1940) dan naik tahta (jumenengan dalem), Belanda pergi dari bumi pertiwi sebab Jepang datang menjajah Indonesia (1942).

Dalam perjuangan Kemerdekaan RI, HB IX memainkan peran yang sangat penting. Yogyakarta menjadi Ibukota RI. HB IX pun merancang strategi Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menyelamatkan RI di mata dunia. Pada awal masa Orde Baru, HB IX menyelamatkan perekonomian Indonesia dengan cara mengembalikan kepercayaan internasional untuk membantu RI. Sejak tahun 1946 sampai 1971, HB IX berkali-kali menjabat posisi Menteri Negara RI. Tahun 1950 hingga 1951 dan tahun 1966, ia menjadi Wakil Perdana Menteri. Setelah itu, HB IX menjadi Wakil Presiden RI (1973-1978).

HAMENGKU BUWONO X (1989-)
Namanya sewaktu muda adalah B.R.M. Herjuno Darpito. Ia lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Maret 1946. Ia naik tahta (jumenengan dalem) pada tanggal 7 Maret 1989 dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Hingkang Jumeneng Kaping Sedoso. Gubernur DIY sejak tahun 1998 ini pernah mendapat tanda jasa atau bintang penghargaan dari Austria (Grand Cross) dan dari Belanda (Orde Van Oranje Nassau).

HB X adalah salah seorang tokoh reformasi di Indonesia. Tindakan-tindakan taktis yang diambilnya turut mengakselerasi gerakan reformasi. Dalam buku ”Meneguhkan Tahta untuk Rakyat” (1999) dijelaskan bagaimana HB X memberi dukungan terhadap gerakan reformasi secara simbolis dan juga secara praktis. Dalam aksi sejuta massa yang dikenal sebagai momen pisowanan ageng (20 Mei 1998), HB X menyampaikan maklumat. Dalam orasinya, HB X berkata: ”Maka adalah panggilan sejarah, jika sekarang segenap komponen rakyat Yogyakarta tampil mendukung gerakan reformasi nasional bersama kekuatan reformasi lainnya!”

(Oleh: Haryadi Baskoro)
Wis ngono wae...

JOGJA peta kota


Inilah peta kota Jogja. Titik Nol Kilometer ada di tengah perempatan jalan di depan Keraton.

Wis ngono wae...

JOGJA nol kilometer



Jogya, Jogja, Yogya, Yogja. Ah…, banyak nian nama alias untuk menyebut kota sejuta kenangan itu. Ya betul, bagi saya Jogja adalah kota sejuta kenangan karena saya dilahirkan dan dibesarkan di sana.

Di sana, sebagai pusat kota adalah kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I, pada tahun 1756. Dan kata Ngayogyakarta berasal dari kata ng-ayu-agyo-karto (ayu : beautiful, noble, agyo from ageyo : built, karto : prosperous), it has a meaning that the country was built with a noble wish to bring prosperity. Begitulah kata Lik Sopo Kae. Kini nama Ngayogyakarta Hadiningrat tak lagi sering disebut. Orang lebih suka menyebutnya Yogyakarta, Yogya, atau Jogya gitu aja.

Di seputar kraton Jogja terdapat aneka bangunan kuno seperti: Kantor Pos, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, stasiun Tugu dsb. Nah, dulu saya tinggal tak jauh dari stasiun kereta api, stasiun Tugu itu, kira2 ditengah antara stasiun Tugu dan pasar Beringharjo, dekat dengan jalan Malioboro, yakni di kampung Kemetiran Kidul.

Rute jalan dari Kemetiran Kidul ke arah Kraton dulu biasa saya lalui karena SD dan SMP saya di Bruderan (Pangudi Luhur) Kidul Loji yang berada persis di belakang Kantor Pos, di angka kilometer kisaran 0,2 km.

Lho, kalau sekolahan Bruderan itu terletak di km 0,2 lalu titik nol kilometernya di mana? “Titik nol” kilometer itu ada ditengah perempatan jalan depan Kantor Pos.

Dan berangkat dari kilometer nol itu kita akan berbecak ria raun2 kota Jogja, menikmati dan melihat apa saja yang bisa dinikmati dan dilihat di kota Jogja. Ini artinya di kilometer nol inilah CAFÉ BECAK JOGYA beralamat (sementara). Lho tapi kok di situ dilarang jualan? Ya nggak 'pa'pa, CAFÉ BECAK JOGYA ini adanya khan baru di dunia maya.

Wis ngono wae...

(Gambar dari google image)

BECAK JOGJA KAGAK ADE MATINYE


Dikala becak diburu, dimusnahkan dan dilarang beroperasi di Jakarta, Jogja justru membiarkan dirinya disebut sebagai "kota becak". Kenapa begitu? Pengin tahu?

Jogja memang istimewa, lain dari yang lain. Ketika becak di Jakarta sedang gencar dirumponkan, Sri Sultan HB IX justru menyatakan bahwa becak dapat dijadikan ciri penanda budaya Jawa, sehingga harus dijaga kelangsungan hidupnya. Ya, keberadaan becak di Jogja telah menjadi bagian dari sistem ekonomi yang khas dengan menciptakan rantai ekonomi kota yang saling menguntungkan berbagai pihak. Dalam wilayah turisme misalnya, keberadaan tukang becak tidak dapat dilepaskan dari para pemandu wisata, para penjual kerajinan, penjual makanan dan oleh2, galeri, hotel, toko souvenir, para abdi dalem Kraton, bahkan dengan pelacuran.

Pada kemunculannya pertamakali di Indonesia, becak dielu elu dianggap sebagai arena lapangan kerja baru. Namun selanjutnya becak ditolak kehadirannya justru karena kelenturannya yang luar biasa sebagai penampung pencari kerja yang datang ke kota, yang dianggap "membahayakan" pembangunan kota moderen. Aneka alasan seperti becak tidak manusiawi kek, becak sumber kemacetan kek, dipakai untuk meminggirkan, untuk meniadakan becak dari kehidupan kota. Menyanggah dengan mengatakan bahwa becak itu merupakan moda transportasi yang manusiawi dan ramah lingkungan, namun tanpa diimbangi dengan pemahaman becak sebagai bagian dari sejarah kota itu, bakalan sia2 deh. Mengatakan sanggahan demikian justru semakin menegaskan bahwa becak memang rentan terhadap pemusnahan. Dan itulah yang telah terjadi di kota besar. Seperti di Ibukota Jakarta sejak beberapa puluh tahun lalu becak dilarang beroperasi.

Namun lain cicak lain buaya, lain becak di Jogja lain di Jakarta. Di Jogja becak bukan semata-mata perkara transportasi yang tidak manusiawi ataupun perkara mobilitas "wong cilik" yang memacetkan jalanan dan menyesaki ruang kota, tetapi antara becak dan kota Jogja, keduanya memang saling menghidupi saling melengkapi, sudah bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, kayak mimi lan mintuno. Gitu loh…

Perjalanan sejarah becak di Jogja dimulai sebelum Perang Dunia II. Dan selama beberapa tahun setelahnya, becak dapat diterima dengan baik sebagai alat transportasi. Banyak tenaga pengayuh yang terserap. Ongkosnyapun relatif murah. Lebih cepat dari berjalan kaki dan relatif nyaman. Dikala hujan, penumpang tidak kehujanan, dikala panaspun tidak kepanasan, lha wong ada atap terpalnya. Yang jelas becak merupakan alat transportasi yang lebih baik dari yang ada sebelumnya untuk memecahkan masalah transportasi dengan jarak yang cukup jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak hanya bisa mengangkut orang tapi becak juga bisa mengangkut barang. Jadi becak merupakan alat angkut orang dan barang yang nir energi, nir polusi dan "teleknya" tidak mengotori (jika dibandingkan dengan andong).

Pernah becak jadi raja jalanan. Tapi itu dulu sewaktu belum ada angkot, taxi maupun ojek. Kala itu becak banyak berseliweran di sela sepeda pribadi, beberapa motor pribadi, segelintir mobil pribadi, andong serta gerobak sapi. Pengusaha rental becak berjaya. Dan saya juga masih ingat dulu di sebelah rumah, di Kemetiran Kidul dekat Malioboro, ada garasi merangkap bengkel becak milik Bah Mbing. Saya yang masih ABG demen nongkrong di situ melihat pak Man Juru Gambar, salah satu pekerjanya, bekerja menggambari slebor2 becak. Slebor itu tidak hanya digambari pemandangan gunung kembar, Merapi dan Merbabu, tapi juga ditulisi dengan aneka slogan, Adem Ayem, Ayem Tentrem, Waton Ayem, dsb.Wiih, unik banget.

Oleh Bah Mbing becak2 yang puluhan jumlahnya itu disewakan ke para tukang becak yang berasal dari desa pinggiran Jogja, dari mBantul, ngGanjuran, Palbapang, nDenggung, Sentolo, Prambanan, mBayat, Wonosari dsb. Tidak siang tidak malam becak2 itu laris tersewa. Mereka, para tukang becak, biasa mangkal di Stasiun, di Pasar, di Stanplat, di Malioboro, di depan hotel atau dimana saja tempat yang ramai orang. Di pagi hari kita bisa melihat becak dikayuh tergesa mengantar anak berangkat sekolah dan siang harinya menjemput pulang. Atau kita bisa melihat Pak Paijan ngos2an nggenjot becak mengantar Mbokde Setu Legi (setengah tuwo lemu ginuk2) menuju ke pasar dan sorenya menuju pulang.

Kostum pak becak teramat sederhana. Nyeker, bercelana kolor, berbaju seadanya dan bercaping. Mereka berpakaian seadanya seperti itu karena mereka memang bukan orang yang berada. Umumnya mereka hanya punya modal dengkul (dalam arti harafiah). Sehingga kalau becak kemudian diindentikkan dengan kehidupan rakyat kecil, dengan kemisikinan, itu memang tidak keliru. Yo pancen begitulah kenyataannya waktu itu, mau bilang apa?

Jamanpun berkembang, roda2 berputar kian kencang. Sepeda onthel yang dulu digeos kethowal kethawil dan mlakune thimik2 kini telah digantikan oleh pit montor alias sepeda motor, gerobak sapi salin rupa jadi Kijang pikep, andong jadi angkot. Kini tak lagi terdengar glodhak glodhek suara roda besi pedati, tak sering lagi terdengar dag dig dug suara sepatu kuda. Yang santer terdengar adalah suara ingar bingar deru mesin, bunyi raungan knalpot serta prat pret bunyi klakson kendaraan2 bermotor. Dan di lingkungan nan hiruk pikuk seperti itulah becak itu berada. Piye Jal?

Kalau di tempat lain jangan harap becak dapat selamat dari seleksi alam yang super ketat macam begitu. Lambat laun becak bakal tergusur tergantikan oleh jenis angkutan lain yang lebih ampuh dan lebih bisa wes ewes bablas ngebut. Tapi untunglah berkat sejarah kota Jogja yang istimewa, Jogja sebagai kota budaya dan sebagai daerah tujuan wisata maka kita boleh berharap keberadaan becak di Jogja akan bisa langgeng lestari senantiasa hingga nanti sepanjang masa, sepanjang usia kota Jogja. Wis jan, Jogja pancen oye, kata dalang ki Manteb. Jogja never ending Asia, kata Sri Sultan. Dan kata orang Betawi dengan nada setengah ngiri: "Becak Jogja kagak ade matinye, ni yeee…"

Berwisata ke Jogja, kurang afdol kalau tidak kiya kiya berbecak ria raun raun kota. Bener lho. Bahkan sekarang dengan ongkos yang super murah kita sudah akan dikelilingkan oleh pak becak ke berbagai toko cenderamata, toko batik, toko buah tangan dsb. yang tersebar di seantero Jogja. Tentang hal itu ada seorang turis mancanegara, Lemaire namanya, yang mengamati dan menulis begini:
"Saya selalu bertanya tanya mengapa tukang becak di sekitar Kraton lebih ramah daripada tukang tukang becak yang lain, dan menawarkan layanan mereka seharga hanya Rp1.000,00, Kenyataannya adalah tukang tukang becak ini dapat membawa para turis ke berbagai toko yang berbeda, dan di sana mereka mendapatkan komisi dari setiap barang yang dibeli oleh sang turis. Uang yang mereka dapatkan dari komisi ini biasanya lebih tinggi daripada ongkos becak sesungguhnya. Sistem komisi ini pun ada pada skala yang lebih tinggi: beberapa tukang becak, yang bekerja di sekitar Sosrowijaya pada malam hari, "mampu membaca mata lelaki", dan membawa para lelaki ini ke rumah rumah bordil di "SARKEM" di sekitar situ. Mereka biasanya menerima komisi sebesar Rp30.000,00 untuk setiap klien yang mereka bawa."

Nah, sekarang baru ketahuan bahwa ternyata dimungkinkan adanya hasil "sampingan" yaitu komisi, tip ataupun bingkisan, yang lumayan dari kerja narik becak di Jogja. Sehingga kita tidak perlu heran kala menyaksikan seorang tukang becak yang berwajah cerdas, berkostum pantas, berkalung handphone, punya alamat email ataupun face book dan bahasa Inggris serta Belandanya cas cis cus. Itulah dia profil si abang pemandu "becak wisata" masa kini. Citra lama sosok tukang becak yang kusut, kumuh, susah, menderita, tak berpendidikan, tak berketrampilan dsb, luruh sudah. Digantikan oleh para mas mas (atau nantinya juga mbak mbak?) tukang becak yang piawai memandu para pelancong lokal maupun interlokal. (Saxjannya tipe tukang becak yang merangkap jadi guide itu lebih cocok lho kalau dijuluki "Gaet Genjot". He he…. ).

Dan tempo hari sewaktu saya dari Jakarta tiba di stasiun Jogya saya sempat merasakan keramahan salah seorang mas tukang becak itu. Ditengah kerumunan para tukang becak yang menawarkan jasa, saya mendengar sapaan menggelikan.
"Pakde, pakai becak saya saja, ditanggung pasti tidak digigit nyamuk." Saya tertarik, mendekat dan bertanya:"Lho apa hubungannya naik becak dengan digigit nyamuk?"
"Soalnya becak saya pakai tiga roda," jawabnya sembari menyanyi lucu sekali: "Nyamuk sini cuma takut tiga roda, toret toret…." "Wah tukang becak ini pasti terlalu sering nonton iklan obat nyamuk" batin saya.
"Yo wis ayo tarik. Menyang Keraton piro? Seket ewu yo". kata saya . "Lah, kebanyakan Pakde" katanya. "Yo gak apa. Sepuluh ewu dinggo mbayar mbecake, patang puluh ewu dinggo dagelane". Dan kami berduapun tertawa ngkik3x.

Tujuh belas menit kemudian sampailah saya ke tempat tujuan, yaitu Keraton Jogja.

Wis ngono wae…
(Studi dari berbagai sumber. Gambar dari google image).