Rabu, 24 Februari 2010

JOGJA Keraton sebagai Pusat Kerajaan dan Kebudayaan

Keraton Yogyakarta dibangun pada jaman pemerintahan HB I, yaitu pada tahun 1756 Masehi atau tahun Jawa 1682. Mengapa lambang keraton berupa dua naga yang saling melilit? Itu merupakan simbol tahun pendirian Keraton. Setiap angka mengandung arti. Tahun 1682 dibaca dari belakang seperti berikut: 2 = dwi, 8 = naga, 6 = rasa, dan 1 = tunggal. Hebatnya, ungkapan dwi naga rasa tunggal itu dapat dibaca menjadi dwi nagara satunggal yang artinya adalah ”dua negara yang satu adanya”. Meskipun Mataram terpecah menjadi dua kerajaan (Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta), pada hakikatnya adalah satu. Dalam hal ini, HB I memang sangat menekankan kesatuan bangsa!

Keraton Yogyakarta yang bangunannya menempati kawasan seluas 14.000 meter pesegi itu mempunyai arti yang sangat penting. Pertama, keraton Yogyakarta merupakan simbol eksistensi kerajaan Mataram yang kejayaannya masyur di jaman dulu. Berdasar perjanjian Giyanti (1755), Kasultanan Yogyakarta merupakan penerus sah kerajaan Mataram.

Kedua, keraton atau keratuan (ke-ratu-an) atau dalam bahasa Jawa kedhaton, adalah tempat tinggal raja dan tempat bersemayam raja. Kalau rakyat hendak menghadap raja, mereka harus datang ke keraton ini. Pada masa silam, para wakil kawulo (rakyat) harus berbusana putih-putih dan berjemur di alun-alun keraton untuk menghadap raja (tradisi laku pepe).

Ketiga, keraton merupakan pusat pemerintahan politis. Wilayah kekuasaan kasultanan diklasifikasi menurut konsep lapisan konsentris trimandala praja. Lapisan terdalam yang merupakan wilayah pusat kerajaan disebut nagara. Ini adalah ibukota kerajaan yang menjadi tempat tinggal raja dan para pejabat penting. Pusat nagara adalah keraton. Lapisan kedua disebut wilayah nagaragung, yaitu daerah-daerah sekitar kota (ommanlanden). Lapisan ketiga disebut wilayah monconagara, yaitu daerah-daerah yang jauh (buiten-gawesten).

Keempat, keraton Yogyakarta adalah pusat kebudayaan Jawa. Dari sinilah kebudayaan Jawa dikembangkan, ditularkan, dan diwariskan. Keraton mempunyai ahli-ahli budaya dan para pujangga. Raja yang arif seperti HB I adalah pencipta dan pengembang kebudayaan yang kreatif. Ia mewariskan pemikiran-pemikiran filosofis dan juga karya-karya seni.

Kelima, keraton adalah pusat kerohanian (spiritualitas). Raja adalah seorang panatagama atau kalifatulah, yaitu seorang pemimpin agama. Keraton Yogyakarta juga merupakan pusat kekuatan magis yang terhubung dengan garis lurus mistis dengan kekuatan spiritual gunung Merapi di sebelah utara dan kekuatan spiritual samudera Hindia (kerajaan Nyai Roro Kidul) di sebelah selatan.

Wibawa keraton sebagai pusat eksistensi Mataram, pusat kekuatan politis, pusat budaya, dan pusat spiritualitas masih terasa sampai sekarang. Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX mangkat (3 Oktober 1988), ratusan ribu rakyat membanjiri ke keraton. Seluruh Yogyakarta berkabung. Pemerintah RI menetapkan tujuh hari berkabung nasional. Gejala-gejala spiritual pun terjadi. Saat itu, di langit muncul pelangi putih aneh yang dipercaya sebagai tanda kematian (teja bathang). Saat jenazah HB IX disemayamkan, hujan aneh turun di Yogyakarta. Hujan aneh juga tumben turun di Washington D.C. (Amerika Serikat) pada hari meninggalnya HB IX di rumah sakit yang ada di kota metropolitan itu. Dahulu, saat HB VIII wafat (22 Oktober 1939), mendadak petir (halilintar) meledak di langit Yogyakarta yang cerah. Menurut buku Babad Tanah Jawi, gunung-gunung meletus pada hari wafatnya Sultan Agung.

(oleh: Haryadi Baskoro)
Wis ngono wae...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar